2025

ilustrasi Data Pribadi Indonesia Dijual ke AS: Bisnis Menggiurkan atau Ancaman Kedaulatan Digital?

Jakarta, Juli 2025 – Di era digital, data adalah kekuatan baru. Tapi ketika data pribadi warga Indonesia mengalir ke Amerika Serikat (AS) lewat kesepakatan dagang, muncul pertanyaan besar: Siapa sebenarnya yang diuntungkan?

Data = Emas Digital, Tapi Siapa yang Menambangnya?

Pakar Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha tegas menyatakan: "Data sekarang setara dengan minyak atau emas—komoditas strategis yang diperebutkan negara-negara besar."

Faktanya, AS—yang belum memiliki undang-undang perlindungan data seketat Uni Eropa (GDPR)—akan dengan leluasa mengakses data pribadi jutaan warga Indonesia. "Ini berisiko tinggi," tegas Persadha. "Korporasi teknologi dan bahkan lembaga intelijen AS bisa memanfaatkannya tanpa kontrol ketat."

Mengapa Data Begitu Berharga?

Bayangkan: Internet menyimpan 5 juta terabyte data, setara dengan 5-10 triliun buku 500 halaman. Data ini adalah bahan bakar AI, iklan digital, hingga kebijakan politik.

  • Perusahaan menggunakannya untuk prediksi pasar.

  • Pemerintah memanfaatkannya untuk kebijakan publik.

  • Aktor jahat bisa menyalahgunakannya untuk manipulasi atau penipuan.

Tapi kini, data Indonesia—termasuk riwayat belanja, lokasi, bahkan preferensi politik—bisa dikendalikan oleh entitas asing.

Transfer Data Lintas Negara: Peluang atau Jebakan?

Kesepakatan dagang Indonesia-AS membuka keran aliran data bebas. Namun, tanpa regulasi ketat, risiko penyalahgunaan semakin tinggi.

  • AS tidak punya UU perlindungan data federal seperti GDPR di Eropa.

  • Perusahaan seperti Google, Meta, dan Amazon bisa mengumpulkan data lebih leluasa.

  • Keamanan data warga Indonesia bergantung pada kebijakan perusahaan AS.

"Kita seperti memberi bahan baku gratis, lalu membeli produk jadi dengan harga mahal," kritik seorang analis digital.

Mana yang Lebih Penting: Ekonomi atau Privasi?

Pemerintah mungkin melihat ini sebagai peluang investasi digital. Tapi di sisi lain:

  • Apakah warga Indonesia sadar datanya diperjualbelikan?

  • Siapa yang menjamin data tidak bocor atau disalahgunakan?

  • Jika data adalah emas baru, mengapa kita tidak kuasai sepenuhnya?

"Ini bukan sekadar urusan bisnis, tapi kedaulatan digital," tegas Persadha.


Pertanyaan Kritis untuk Pembaca:

  1. Setujukah Anda jika data pribadi Anda diperdagangkan ke luar negeri?

  2. Haruskah Indonesia punya UU ketat seperti GDPR sebelum ekspor data?

  3. Siapa yang paling diuntungkan dari kesepakatan ini: rakyat atau korporasi?

#DataAdalahEmas #KedaulatanDigital #IndonesiaVsAS

 ilustrasi Generasi yang Kehilangan Kemampuan Membaca Dunia EduWithSTEAM.com

Bandung, 25 Juli 2025 — Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 65% siswa SMA kesulitan memahami teks sastra sederhana. Mereka bisa membaca kata per kata, tetapi gagal menangkap ironi, metafora, atau pesan moral di baliknya.

"Mereka Tak Lagi Terbiasa Berempati dengan Kata-Kata"
Dr. Fitriani, pakar pendidikan literasi, menjelaskan: "Ini bukan sekadar malas baca. Tapi karena dunia digital melatih otak mereka untuk konsumsi konten cepat—bukan perenungan."

Contoh nyata terlihat di SMA Negeri 5 Jakarta. Saat diajak menganalisis The Necklace, mayoritas siswa menyimpulkan cerita itu "tentang perempuan materialistik", tanpa menangkap kritik sosial di baliknya.

Dampak yang Mengkhawatirkan

  1. Pemikiran yang Datar: Tanpa kemampuan menafsirkan simbol, generasi muda rentan terjebak dalam pemahaman hitam-putih.

  2. Krisis Empati: Jika mereka tak bisa merasakan perjuangan Lencho (Letter to God), bagaimana bisa memahami penderitaan orang lain di dunia nyata?

  3. Kehilangan Identitas Budaya: Sastra adalah cerminan nilai masyarakat. Jika tak lagi dibaca, apa yang akan tersisa?

Apa Solusinya?
Beberapa sekolah mulai mencoba pendekatan baru:

  • Memadukan sastra dengan media digital, seperti membuat video pendek analisis cerpen.

  • "Kelas Membaca Emosional", di mana siswa diajak merasakan, bukan sekadar menghafal plot.

"Kami tak menyerah," kata Pak Guru di akhir wawancara. "Karena jika mereka tak lagi bisa membaca dunia, lalu siapa yang akan mengubahnya?"

ilustrasi Anak-anak yang Tak Lagi Bisa Membaca Dunia pic EduWithSTEAM.com

Cerita Pendek: "Daun Terakhir yang Tak Pernah Dibaca"

Di sudut kelas 12 IPA 4, Rara menatap layar ponselnya dengan bosan. Pak Guru sedang membahas The Last Leaf karya O. Henry, tapi telinganya lebih asyik mendengar notifikasi TikTok.

"Ini ceritanya tentang apa sih? Panjang banget," bisiknya ke teman sebangkunya, Dito.

"Katanya tentang daun terakhir yang nggak jatuh. Tapi bingung, ngapain dibahas panjang-panjang?" jawab Dito sambil memainkan pensil.

Pak Guru mencoba menarik perhatian mereka. "Coba kalian pikirkan, mengapa si pelukis rela kedinginan demi melukis daun itu? Apa artinya bagi Johnsy?"

Rara mengernyit. "Artinya dia nggak punya kerjaan lain kali, Pak," celetuknya. Kelas pun tertawa.

Pak Guru tersenyum getir. Dulu, murid-muridnya akan berdebat tentang makna pengorbanan. Sekarang? Mereka lebih tertarik pada durasi video yang tak lebih dari 30 detik.

Di rumah, Rara menemukan buku lama ibunya—kumpulan cerpen O. Henry. Sekilas, matanya tertuju pada satu kalimat: "Ketika daun terakhir itu tetap bertahan, Johnsy menemukan alasan untuk tidak menyerah."

Tiba-tiba, ia ingat saat neneknya sakit. Ia tak mengerti mengapa ibunya terus berjaga di rumah sakit, meski dokter bilang harapan kecil. Sekarang, ia paham. Daun itu adalah simbol. Tapi mengapa butuh bertahun-tahun baginya untuk menyadarinya?

Keesokan harinya, Rara mendatangi Pak Guru. "Pak, apa masih ada waktu untuk belajar membaca… bukan sekadar huruf, tapi makna?"


 

ilustrasi Generasi Instan vs. Sastra: Perlawanan Sunyi Seorang Guru pic EduWithSTEAM.com

Di sebuah ruang kelas, seorang guru berdiri dengan buku The Necklace karya Guy de Maupassant di tangannya. Ia berharap melihat mata siswa-siswanya berbinar saat menyelami ironi hidup Mathilde, atau setidaknya tersentuh oleh pengorbanan dalam The Last Leaf. Tapi yang ia dapatkan?

"Sir, too many words."
"Artinya apa sih? Malas buka kamus."

Suara-suara itu seperti tamparan. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena dunia telah mengajari mereka untuk terburu-buru. Kosakata seperti sacrificeillusion, atau hopelessness bukan sekadar asing di telinga—tapi juga tak menyentuh hati.

"Mereka Bisa, Tapi Tak Mau"
Masalahnya bukan teknologi. Kamus digital ada. Fitur translate instan tersedia. Tapi yang hilang adalah keinginan untuk memahami. Ketika Lencho dalam Letter to God disebut "idiot" alih-alih dimaknai sebagai kritik sosial, atau ketika daun terakhir dianggap sekadar daun—bukan simbol harapan—maka yang terjadi bukan sekadar krisis literasi.

Ini krisis kedalaman jiwa.

Dunia yang Memaksa Mereka Cepat, Bukan Tepat
Guru itu tahu, zaman telah berubah. Bahasa disingkat. Informasi dikemas dalam 15 detik. Membaca satu paragraf pun sudah dianggap beban. Tapi justru di situlah bahayanya: ketika kata-kata hanya jadi alat tukar informasi, bukan jendela makna.

Ia ingat masa ketika kamus tebal adalah sahabat. Sekarang, bahkan Google Translate tak disentuh kecuali terpaksa. Padahal, di balik setiap kata yang dicari, ada dunia baru yang menunggu untuk ditemukan.

"Mengapa Saya Masih Mengajarkan Sastra?"
Kadang ia merasa naif. Di tengah derasnya konten viral, ia masih berharap siswa tersentuh oleh metafora. Di era instant gratification, ia masih meminta mereka membuka kamus. Tapi mungkin, justru di kenaifan itulah letak perlawanannya.

"The Road Not Taken" karya Robert Frost mungkin tak lagi populer di kalangan Gen Z. Tapi guru itu yakin: suatu hari nanti, saat mereka terjebak dalam kehidupan yang datar, mereka akan teringat pada satu kalimat, satu cerita, atau satu daun yang tak pernah gugur—dan tiba-tiba, mereka mengerti.

"Karena membaca bukan sekadar melisankan huruf. Tapi menyelami jiwa yang tersembunyi di baliknya."


Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah refleksi atas krisis literasi yang tak hanya soal kemampuan baca-tulis, tapi juga keterhubungan emosional dengan kata-kata. Bagaimana pendapat Anda? Apakah generasi sekarang benar-benar kehilangan minat pada sastra, ataukah kita yang gagal mengemasnya dengan cara yang relevan?

 

ilustrasi Koperasi Merah Putih pic EduWithSTEAM.com

Dari Musyawarah ke Digitalisasi: Perjalanan Kopdes Merah Putih Membangun Kemandirian Desa


Di tengah semangat gotong royong dan inklusivitas, lahirlah Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai pilar penggerak kesejahteraan masyarakat desa. Melalui platform Kopdesa, proses pendirian koperasi menjadi lebih mudah, terarah, dan legal.


1. Musyawarah Desa: Fondasi Kebersamaan

Langkah awal dimulai dengan musyawarah desa yang melibatkan perangkat desa, tokoh masyarakat, dan calon anggota koperasi. Dalam forum ini, warga menyepakati jenis koperasi yang akan dibentuk, visi-misi, serta tujuan jangka panjang.


2. Pembentukan Struktur dan Penyusunan AD/ART

Setelah kesepakatan tercapai, dibentuklah kepengurusan koperasi yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Pengawas. Bersamaan dengan itu, disusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) koperasi yang mencakup aturan dasar, hak dan kewajiban anggota, serta mekanisme pengambilan keputusan.


3. Pembuatan Akta Notaris

Langkah selanjutnya adalah pembuatan akta pendirian koperasi melalui notaris. Kopdesa membantu seluruh proses administrasi dan komunikasi dengan notaris yang telah bekerja sama. Akta ini menjadi dokumen utama untuk mengurus legalitas koperasi secara nasional.


4. Pengurusan Legalitas: AHU, NPWP, NIK, dan NIB

Setelah akta notaris selesai, proses berlanjut ke tahap pengurusan legalitas koperasi:

  • AHU (Administrasi Hukum Umum) dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti bahwa koperasi telah terdaftar secara resmi.

  • NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) koperasi untuk keperluan perpajakan dan administrasi keuangan.

  • NIK Koperasi, yang akan menjadi identitas koperasi dalam sistem nasional.

  • NIB (Nomor Induk Berusaha) melalui sistem OSS sebagai izin operasional koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Semua proses ini akan dibantu dan difasilitasi oleh tim profesional Kopdesa agar berjalan lancar dan cepat tanpa harus repot.


5. Digitalisasi Koperasi

Dengan dukungan platform Kopdesa, koperasi dilengkapi dengan sistem manajemen digital berbasis aplikasi yang memudahkan pencatatan keuangan, pengelolaan anggota, transaksi unit usaha, serta pembuatan laporan keuangan secara otomatis. Hal ini menjadikan koperasi lebih transparan, efisien, dan siap bersaing di era modern.


6. Pelatihan dan Pendampingan Berkelanjutan

Kopdesa tidak hanya berhenti di pendirian, tetapi juga memberikan pelatihan dan pendampingan berkelanjutan, mulai dari manajemen koperasi, strategi pengembangan usaha, penggunaan aplikasi digital, hingga edukasi tentang regulasi dan pelaporan. Setiap koperasi yang tergabung dalam Kopdesa mendapatkan akses ke komunitas, modul pelatihan, dan dukungan langsung dari tim ahli.


Dengan dukungan penuh dari platform Kopdesa, pendirian Koperasi Desa Merah Putih kini tidak lagi rumit. Seluruh proses, mulai dari musyawarah, legalisasi, hingga digitalisasi, dapat dilakukan secara terstruktur dan efisien. Kopdesa hadir untuk mendampingi setiap langkah koperasi desa menuju kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.


Referensi:

Kopdes Merah Putih - Strategi Pemerataan Ekonomi dari Desa untuk Wujudkan Kemerdekaan Sejati

Ketahui, Tahapan Pendirian Koperasi Merah Putih - RRI

Simak! Tahapan Pendirian Kopdes Merah Putih - Metro TV

ilustrasi Stop Jadi Kutu Buku! Begini Trik Jago Matematika & Fisika Tanpa Stres pic EduWithSTEAM.com

Matematika dan Fisika sering dianggap seperti "monster" menakutkan di sekolah. Banyak siswa kabur dari jurusan sains, bahkan rela memilih bidang lain hanya untuk menghindari hitung-hitungan. Tapi, tahukah kamu? Masalahnya bukan pada pelajarannya, tapi cara kita belajar yang salah!

82% Siswa Indonesia "Gagal" Matematika – Ini Penyebabnya

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengungkap fakta mengejutkan: 82% siswa usia 15 tahun kemampuan matematikanya di bawah standar PISA (2022). Artinya, mayoritas siswa Indonesia kesulitan menerapkan matematika dalam kehidupan nyata.

Lho, kok bisa?

Menurut Alif Hijriah (29), pendiri platform belajar Cerebrum dan lulusan S1-S2 Matematika ITB, kesalahan terbesar siswa adalah terlalu fokus menghafal rumus, bukan memahami konsep.

"Banyak murid menghafal satu rumus untuk satu soal. Padahal, kalau paham konsepnya, semua rumus bisa diturunkan dari dasar," tegas Alif.

Contoh Nyata: Gerak Parabola Bisa Jadi Simpel!

Bayangkan kamu melempar bola. Itu adalah Gerak Parabola, tapi banyak siswa malah pusing menghafal 5 rumus berbeda. Padahal, semua bisa dipahami hanya dengan 2 konsep dasar:

  1. Gerak Lurus Beraturan (GLB) – Kecepatan konstan.

  2. Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) – Ada percepatan (gravitasi).

"Saya masih ingat materi ini setelah 13 tahun karena paham konsepnya, bukan hafalan," ujar Alif.

Solusinya? Belajar dengan Cara Keren!

Alif menekankan:
✔ Stop hafalan! Pahami logika di balik rumus.
✔ Kaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Misal, fisika bisa menjelaskan cara kerja HP atau mobil listrik.
✔ Latihan variasi soal. Jangan cuma ngandalkan contoh guru.

"Kalau siswa sadar fisika dan matematika itu keren, mereka akan semangat belajar," tambahnya.

Kesimpulan: Ubah Mindset, Jago Itu Bisa!

Masalahnya bukan pada pelajarannya, tapi cara belajarnya. Jika guru dan siswa berhenti mengandalkan hafalan, matematika dan fisika bisa jadi seru dan mudah.

Siap jadi generasi yang logic-driven bukan rote-learning? ðŸ’¡ðŸš€


Catatan Editor:
Artikel ini bukan untuk menyalahkan guru, tapi membuka diskusi tentang metode belajar sains yang lebih efektif. Bagaimana pengalamanmu belajar matematika/fisika? Ceritakan di kolom komentar!


 

ilustrasi Anak Indonesia Bersaudara dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Jakarta, 23 Juli 2025 – Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini dirayakan dengan semangat baru. Dengan tema "Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045", pemerintah melalui Kemen PPPA tak hanya sekadar seremonial, tetapi juga menggalang aksi nyata untuk memastikan setiap anak Indonesia tumbuh optimal.

Lima Sub-Tema yang Menjadi Sorotan

  1. Generasi Emas Bebas Stunting – Kampanye gizi intensif digencarkan, terutama di daerah rawan stunting. "Investasi gizi hari ini adalah pondasi SDM unggul di 2045," tegas Menteri PPPA.

  2. Pendidikan Inklusif – Tak ada lagi anak yang tertinggal, termasuk difabel dan anak dari daerah terpencil.

  3. Anak Cerdas Digital – Literasi digital dan keamanan internet jadi fokus, mengantisipasi dampak negatif gadget.

  4. Stop Perkawinan Anak – Target: angka perkawinan dini turun 50% sebelum 2030.

  5. Perlindungan Total dari Kekerasan – Sistem pelaporan kekerasan anak diperkuat dengan aplikasi terintegrasi.

Logo yang Sarat Makna

Logo HAN 2025 menampilkan tiga anak dengan latar merah-putih, salah satunya berkursi roda, sebagai simbol inklusivitas. Desain oval yang dinamis mencerminkan keberagaman anak Indonesia.

Perayaan Serentak dari Sabang sampai Merauke

Tahun ini, HAN tak hanya di Jakarta, tetapi juga diadakan di desa-desa, sekolah, dan komunitas. "Kami ingin setiap anak merasa dirayakan," ujar juru bicara Kemen PPPA.

#HariAnakNasional2025 #AnakIndonesiaBersaudara

Unduh Logo & Materi Resmi: [Tautan Kemen PPPA]

 

illustrasi siswa sedang Ujian TKA pic EduWithSTEAM.com

Jakarta, 18 Juli 2025 – Gelombang perubahan besar kembali menghantam dunia pendidikan Indonesia. Setelah bertahun-tahun menuai kontroversi, Ujian Nasional (UN) akhirnya resmi dihapus dan digantikan dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Keputusan ini langsung menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelajar, orang tua, bahkan guru.

"UN Sudah Tamat, Sekarang Giliran TKA!"

Laksmi Dewi, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, dengan tegas menyatakan, "Ujian Nasional sudah tidak ada. Yang ada sekarang adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan dilaksanakan November mendatang."

Namun, yang bikin penasaran: Apa bedanya TKA dengan UN?

  1. Tidak Wajib & Tidak Pengaruhi Kelulusan
    Berbeda dengan UN yang dulu menjadi momok kelulusan, TKA bersifat tidak wajib dan tidak menentukan nasib siswa. Artinya, siswa bisa lebih fokus pada pemahaman materi ketimbang sekadar mengejar nilai.

  2. Mata Pelajaran Lebih Spesifik

    • SMA/SMK: Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris (wajib) + 2 mata pelajaran pilihan sesuai jurusan kuliah.

    • SMP & SD: Hanya Matematika dan Bahasa Indonesia, dengan sistem computer-based test (CBT).

  3. Jadwal Lebih Fleksibel

    • Simulasi TKA: 6–12 Oktober 2025

    • Gladi Bersih: 27–31 Oktober 2025

    • Pelaksanaan TKA: 1–9 November 2025

    • Susulan: 17–23 November 2025

Reaksi Publik: Antara Lega dan Khawatir

Beberapa siswa mengaku lega karena tidak perlu lagi stres menghadapi UN. "Dulu UN bikin deg-degan, sekarang lebih santai karena TKA nggak ngaruh ke kelulusan," kata Rina, siswi SMA di Jakarta.

Tapi, tidak sedikit yang khawatir ini hanya ganti nama saja. "Jangan-jangan TKA justru lebih susah karena materinya lebih spesifik," protes Andi, orang tua murid.

Pertanyaan Besar: Apakah Sistem Baru Ini Lebih Baik?

Pemerintah menjanjikan TKA lebih mengukur kemampuan akademik murni siswa. Namun, apakah ini benar-benar solusi atau malah bikin kebingungan baru?

Bagaimana pendapat Anda?
#UNdihapus #TKA2025 #PendidikanIndonesia

 

ilustrasi Sekolah Rakyat vs SLB: Antara Inklusivitas dan Ancaman bagi Kelompok Rentan pic EduWithSTEAM.com

Bandung, Juli 2025 – Proyek Sekolah Rakyat di Sentra Wyata Guna, Bandung, memantik kontroversi setelah dua gedung milik SLBN A Pajajaran—sekolah tertua bagi tunanetra di Asia Tenggara—dibongkar untuk dialihfungsikan.

Awalnya, rencana ini memicu protes dari guru, orang tua, dan siswa disabilitas. 70-80 siswa dari total 111 terpaksa direlokasi ke SLB Cicendo, sementara sisanya harus berbagi ruang yang semakin sempit. Media sosial pun dihebohkan dengan video-video keprihatinan mereka yang merasa "tergusur" oleh kebijakan ini.

Dua Sekolah, Satu Nasib: Akankah Koeksistensi Berjalan Mulus?

Kementerian Sosial (Kemensos) akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 9 Kota Bandung tidak akan mengganggu operasional SLBN. "Gedungnya terpisah, bahkan lebih nyaman setelah renovasi," klaim Supomo, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos.

Namun, apakah janji ini cukup?

Rian Ahmad Gumilar, Pelaksana Harian Kepala Sekolah SLBN A Pajajaran, menyambut baik kolaborasi ini. "Kami harap tercipta lingkungan inklusif," ujarnya. Tapi, benarkah siswa disabilitas—yang sudah kehilangan ruang kelas—bisa langsung beradaptasi dengan kehadiran siswa baru?

Warisan Sejarah vs Tuntutan Modernisasi

SLBN A Pajajaran bukan sekadar sekolah biasa. Didirikan pada 1901 dengan nama Bandoengsche Blinden Instituut, ia adalah pelopor pendidikan tunanetra di Asia Tenggara. Kini, di tengah gencarnya pembangunan Sekolah Rakyat, pertanyaannya adalah:

"Apakah kemajuan pendidikan rakyat harus dibayar dengan mengorbankan kelompok rentan?"

Sementara pemerintah menjanjikan harmoni, masyarakat masih menunggu bukti. Jika kolaborasi ini gagal, bukan tidak mungkin diskriminasi terselubung justru menguat.

Bagaimana pendapat Anda? Proyek mulia atau pengabaian hak disabilitas?


#SekolahRakyat #SLB #DisabilitasDiabaikan

(Berita ini ditulis untuk memicu diskusi kritis tentang kebijakan pendidikan inklusif.)

ilustrasi Eksis, Digital, atau Santuy  pic EduWithSTEAM.com

Jakarta – Jika kamu pikir anak muda Indonesia itu cuma soal TikTok challenge atau rebahan ala "Santuy Gang", kamu salah besar! Riset terbaru dari Alvara Research Center (2024) membongkar tiga tipe utama generasi muda Indonesia yang sedang membentuk masa depan bangsa: Si Eksis, Si Digital, dan Si Santuy.

1. Si Eksis (16%): Generasi Pemimpin atau Sekedar Pencari Perhatian?

Mereka adalah anak muda yang "always on the spotlight"—aktif di organisasi, suka memimpin, dan punya jaringan sosial super luas. Tapi jangan salah, mereka bukan sekadar "caper". Mereka adalah penggerak komunitas, inovator, dan calon pemimpin masa depan.

Fakta Mengejutkan:

  • Lebih banyak ditemukan di kalangan menengah atas.

  • Rentan stres karena tuntutan sosial tinggi.

  • Bisa jadi agen perubahan, tapi juga bisa terjebuk dalam "toxic productivity".

Pertanyaan Provokatif:
"Apa iya mereka benar-benar peduli pada perubahan sosial, atau hanya ingin terlihat keren di media sosial?"


2. Si Digital (39,7%): Generasi Tech-Savvy atau Budak Gadget?

Mereka hidup dan bernafas di dunia digital. Karir? Cari di LinkedIn. Belajar? YouTube dan kursus online. Pacaran? Lewat DM Instagram. Mereka adalah generasi yang menolak kerja kantoran konvensional dan lebih memilih "hustle culture".

Fakta Menarik:

  • Dominan di kalangan Gen Z & Millenial urban.

  • Bisa jadi mesin pembangunan ekonomi digital, tapi juga rentan kesepian dan burnout.

  • Lebih memilih "ghosting" daripada konflik langsung.

Pertanyaan Kritis:
"Jika mereka adalah masa depan bangsa, apa yang terjadi ketika mereka lebih setia pada algoritma daripada manusia?"


3. Si Santuy (44,3%): Bijaksana atau Malas?

Inilah kelompok terbesar—mereka yang menolak drama, menikmati hidup slow, dan anti-gengsi. Bagi mereka, "hidup bukan untuk kerja, tapi kerja untuk hidup."

Fakta Tak Terduga:

  • Populer di kalangan Gen X, tapi juga banyak di Gen Z & Millenial.

  • Menjadi "stabilizer" di tengah hiruk-pikuk dunia digital.

  • Tapi… apakah mereka akan tertinggal jika terlalu santai?

Pertanyaan Kontroversial:
"Apakah 'Santuy Culture' membuat Indonesia damai atau justru lambat bersaing di global?"

illustrasi Tatapan Hampa yang Bagi Milenial "Ga Sopan", Tapi bagi Gen Z Cuma "Lagi Mikir"  EduWithSTEAM.com

Bandung– TikTok lagi-lagi jadi panggung kontroversi generasi. Kali ini, lewat tren "Gen Z Stare"—tatapan kosong tanpa ekspresi yang bikin generasi tua meradang. Bagi sebagian, ini cuma gaya komunikasi ala Gen Z. Tapi bagi milenial? "Diem-diem ngeliatin gitu, kayak kurang ajar!"

"Lagi Proses, Pak, Bukan Ga Sopan!"

Alexis Salter (23), Gen Z asal Kanada, ngaku sering dapat "judge" karena tatapannya yang blank ke pelanggan. "Pas ada yang nanya PIN, gw bengong dulu. Lagi nyari kartu, eh dikira galak," ceritanya. Tapi dia juga ngaku, stare-nya kadang auto-aktif kalo ada orang yang nge-gas"Ya daripada gw bacot, mending gw silent treatment," tambahnya.

Istilah Gen Z Stare sendiri muncul setelah seorang milenial ngamuk di TikTok: "Anak muda sekarang ngobrol kayak robot. Ditanya malah melotot!"

Pandemi Bikin Gen Z Gagap Sosial?

Para ahli bilang, "tatapan zombie" ini ada alasannya:

  1. Efek Pandemi: Gen Z habiskan masa remaja di layar, bukan di dunia nyata. "Mereka terbiasa punya waktu buat mikir sebelum chat, jadi kaget kalo harus respon langsung," jelas Barry Garapedian, pakar komunikasi.

  2. Gaptek Sosial: Jean Twenge, peneliti generasi, bilang Gen Z "kekurangan jam terbang" ngobrol tatap muka. "Remaja dulu belajar baca ekspresi orang di mall, sekarang di emoji," sindirnya.

  3. Generasi Lost in Translation: "Bayangin, ada baby boomer pesan 'susu malt', anak Gen Z bengong: 'Apaan tuh? Maksudnya milkshake?’" kata Mark McCrindle.

Dampak di Dunia Kerja: Manager Milenial vs Karyawan Gen Z

Survei terbaru bocorin fakta pahit: 65% manajer "trauma" hire Gen Z karena dianggap "ga bisa baca suasana""Meeting dikasih ide, malah dikasih tatapan kayak patung. Ga tau setuju atau engga!" keluh seorang HRD di forum Reddit.

Tapi Gen Z balas "attack""Kami cuma anti fake smile. Mau resting bitch face juga hak kami!"

Penutup: Perang Generasi atau Salah Paham?

Gen Z Stare mungkin cuma puncak gunung es. Masalah sebenarnya? Generasi tua mau dihormati, generasi muda mau dimengerti. So, next time ada Gen Z ngelamunin lo, coba tanya: "Lagi pusing atau emang ga suka sama gw?" Siapa tau… mereka cuma lagi bufferring!

Baca juga: "Boomer Rage" vs "Gen Z Silent Treatment": Siapa yang Lebih Toxic? ðŸ”¥

 

Ilustrasi misteri pembangunan Piramid  pic EduWithSTEAM.com

Piramida Agung Giza, salah satu keajaiban dunia yang membisu selama milenium, akhirnya mulai membuka rahasianya yang paling gelap. Bukan cerita kelam tentang ribuan budak yang tersiksa, melainkan kisah tim insinyur, tukang batu, dan pekerja profesional bergengsi yang justru hidup lebih mewah daripada yang kita bayangkan!

Dibongkar oleh "Indiana Jones"-nya Mesir, Dr. Zahi Hawass, penggalian mutakhir di kaki piramida mengungkap bukti yang membalikkan sejarah:

  • Makam Megah di Samping Firaun: "Kalau budak, mana mungkin dikuburkan di samping raja dengan bekal kubur mewah?" tegas Hawass. Makam-makam pekerja itu dihiasi tulisan (graffiti) bangga seperti "Geng Merah, Krew Terbaik Khufu!" – bukti mereka dihormati, bukan diperbudak.

  • Kota "Karyawan" Tersembunyi: Di timur piramida, ditemukan kompleks perumahan lengkap bak kota mandiri. Bukan tenda kumuh, tapi barak terorganisir dengan dapur raksasa!

  • Menu HARIAN: Steak Sapi & Barbekyu Kambing!: Analisis ribuan tulang hewan membuktikan 10.000 pekerja disuplai 20 ton dagon segar setiap hari. Mereka makan daging berkualitas tinggi – jauh dari gambaran budak kelaparan! "Ini katering level bintang lima di gurun!" seloroh Hawass.

Teknologi "Super Canggih" Zaman Batu:
Jangan bayangkan orang Mesir menarik batu 2,5 ton dengan tangan kosong! Pemindaian laser mengungkap jalur tanjakan lumpur raksasa + sistem kereta luncur kayu yang memungkinkan balok raksasa meluncur mulus dari tambang. "Ini logistik militer tingkat tinggi," imbuh Hawass. Organisasinya presisi: ada tim pemotong batu, ahli ukir, dan kuli angkut – semua tersinkronisasi.

Misteri Terakhir: "Big Void" – Ruang Rahasia di Atap Piramida:
Hawass tak berhenti. Di 2026, dia akan kirim robot penjelajah mini ke "Big Void" – ruang kosong sebesar dua truk di jantung piramida yang terdeteksi 2017. "Di sana mungkin ada catatan harian pekerja, alat canggih, atau petunjuk siapa project manager-nya!" ujarnya penuh semangat. Ekspedisi ini bisa menjadi kunci terakhir mengungkap manajemen proyek paling epik sepanjang sejarah manusia.

Kesimpulan yang Mengguncang:
Piramida Agung bukan simbol penindasan, tapi monumen kecerdasan kolektif. Dibangun oleh pekerja terampil yang bangga akan karyanya, didukung sistem logistik dan gizi yang mengalahkan perusahaan modern. Mitos budak? Runtuh sudah! Yang tersisa adalah kekaguman pada peradaban yang mampu mengelola 10.000 pekerja dengan efisiensi, martabat, dan makan enak – 3.000 tahun sebelum Revolusi Industri!

"Ini bukan kuburan Firaun semata. Ini juga monumen untuk 10.000 manusia brilian yang mewujudkan yang mustahil," pungkas Hawass, mengubah selamanya cara kita memandang sang raksasa batu.

ilustrasi sekolah rakyat pic EduWithSTEAM.com

JAKARTA – Sebuah revolusi pendidikan tengah terjadi. Di Sentra Terpadu Inten Soeweno, Cibinong, 100 anak dari keluarga miskin ekstrem justru menikmati fasilitas yang membuat sekolah elite pun tersipu: smart board di tiap kelas, lapangan futsal ber-AC, hingga pemeriksaan jantung gratis di hari pertama. Inilah wajah baru "Sekolah Rakyat" – program kontroversial inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang resmi dimulai Senin (14/7/2025).

Surga Pendidikan atau Penjara Elite?
Program berasrama gratis SD-SMA ini menjanjikan segalanya: seragam, makan 3x sehari, hingga asrama modern di bawah pengawasan ketat. Tapi satu hal dilarang keras: PONSEL. "Komunikasi orangtua hanya melalui wali asuh," tegas Regut Sutrasto, Kepala Sekolah Rakyat Sentra Handayani. Kebijakan ini memicu pro-kontra di media sosial.

Kurikulum Rahasia & Rapor "Spesial"
Di balik fasilitas mewah, kurikulumnya tak kalah unik. Mengadopsi Kurikulum Merdeka namun dengan senjata utama: Learning Management System (LMS) berbasis web yang memantau setiap detak pembelajaran. "Cara belajarnya beda total dengan sekolah reguler," ungkap Regut. Yang lebih mengejutkan: rapor siswa bukan sekadar angka. "Kami catat minat dan bakat tersembunyi mereka," tambahnya – meski ijazahnya tetap sama dengan sekolah umum.

Misi Politik atau Solusi Nyata?
Menteri Sosial Gus Ipul bersikukuh ini adalah "pemuliaan orang miskin" menuju Indonesia Emas 2045. "Ini bukti nyata keberpihakan negara," deklarasinya. Tapi skeptisisme muncul: bisakah program yang menghabiskan anggaran besar ini bertahan? Apalagi fasilitasnya bak "hotel bintang 3": perpustakaan modern, lab komputer mutakhir, hingga lapangan sepak bola rumput sintetis beratap.

100 Siswa Percontohan
Di Bogor, 85 siswa Kota Bogor dan 15 dari Kabupaten Bogor telah menjalani hari pertamanya dengan pemeriksaan kesehatan lengkap. Mereka menjadi kelinci percobaan program yang didukung penuh Ditjen Dikdasmen Kemendikbud.

Satu pertanyaan menggantung: Akankah Sekolah Rakyat menjadi mercusuar pendidikan inklusif – atau sekadar proyek mercusuar yang padam sebelum 2045? Jawabannya mulai ditulis oleh 100 anak yang hari ini menukar kemiskinan ekstrem dengan asrama meyah... dan kehilangan hak memegang ponsel.

#SekolahRakyat #IndonesiaEmas2045

EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget