ilustrasi Sekolah Rakyat vs SLB: Antara Inklusivitas dan Ancaman bagi Kelompok Rentan pic EduWithSTEAM.com
Bandung, Juli 2025 – Proyek Sekolah Rakyat di Sentra Wyata Guna, Bandung, memantik kontroversi setelah dua gedung milik SLBN A Pajajaran—sekolah tertua bagi tunanetra di Asia Tenggara—dibongkar untuk dialihfungsikan.
Awalnya, rencana ini memicu protes dari guru, orang tua, dan siswa disabilitas. 70-80 siswa dari total 111 terpaksa direlokasi ke SLB Cicendo, sementara sisanya harus berbagi ruang yang semakin sempit. Media sosial pun dihebohkan dengan video-video keprihatinan mereka yang merasa "tergusur" oleh kebijakan ini.
Dua Sekolah, Satu Nasib: Akankah Koeksistensi Berjalan Mulus?
Kementerian Sosial (Kemensos) akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 9 Kota Bandung tidak akan mengganggu operasional SLBN. "Gedungnya terpisah, bahkan lebih nyaman setelah renovasi," klaim Supomo, Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos.
Namun, apakah janji ini cukup?
Rian Ahmad Gumilar, Pelaksana Harian Kepala Sekolah SLBN A Pajajaran, menyambut baik kolaborasi ini. "Kami harap tercipta lingkungan inklusif," ujarnya. Tapi, benarkah siswa disabilitas—yang sudah kehilangan ruang kelas—bisa langsung beradaptasi dengan kehadiran siswa baru?
Warisan Sejarah vs Tuntutan Modernisasi
SLBN A Pajajaran bukan sekadar sekolah biasa. Didirikan pada 1901 dengan nama Bandoengsche Blinden Instituut, ia adalah pelopor pendidikan tunanetra di Asia Tenggara. Kini, di tengah gencarnya pembangunan Sekolah Rakyat, pertanyaannya adalah:
"Apakah kemajuan pendidikan rakyat harus dibayar dengan mengorbankan kelompok rentan?"
Sementara pemerintah menjanjikan harmoni, masyarakat masih menunggu bukti. Jika kolaborasi ini gagal, bukan tidak mungkin diskriminasi terselubung justru menguat.
Bagaimana pendapat Anda? Proyek mulia atau pengabaian hak disabilitas?
#SekolahRakyat #SLB #DisabilitasDiabaikan
(Berita ini ditulis untuk memicu diskusi kritis tentang kebijakan pendidikan inklusif.)
Post a Comment