August 2025

 

ilustrasi edukasi MedSos pic EduWithSTEAM.com

    Jakarta – Kasus cyberbullying di kalangan pelajar kian meroket. Tanggapan Kemendikbud? Masukkan "edukasi media sosial" ke dalam kurikulum. Tapi, benarkah guru-guru yang gagap teknologi mampu mengajarkan anak-anak digital native yang hidupnya sudah melekat dengan TikTok dan Instagram?

    Fakta Mengerikan: 1 dari 3 Siswa Alami Cyberbullying

    Data terbaru menunjukkan lonjakan drastis kasus perundungan online. Korban bukan hanya direndahkan, tapi ada yang sampai depresi dan putus sekolah. "Dulu saya di-bully karena fotoku diedit jadi meme viral. Guru hanya bilang, 'jangan dihiraukan'. Mereka tidak paham betapa sakitnya," curhat Sisi, siswi SMP di Jakarta.

    Guru Bingung, Materi Tidak Relevant

    Masalah terbesar: kebanyakan guru justru kalah paham medsos dibanding muridnya. "Saya cuma bisa ajarkan teori etika, tapi tidak tahu cara laporkan akun palsu atau atur privasi di Instagram. Murid-murid malah yang mengajari saya," aku Bu Sari, guru BK di sebuah SMA negeri.

    Sekolah Cuma Kasih Materi, Tapi Tidak Beri Solusi Praktis

    Edukasi yang diberikan seringkali hanya permukaan:

    • "Jangan bully ya" → tapi tidak diajarkan cara melapor jika dibully.

    • "Hati-hati berbagi data" → tapi tidak ada simulasi mengatur privacy settings.

    • "Berkata baik di internet" → tapi tidak ada psikolog untuk konseling korban.

    Orang Tua Lepas Tangan: "Itu Kan Tugas Sekolah"

    Di rumah, banyak orang tua yang juga tidak mampu mengawasi. "Saya sibuk kerja, anak main HP di kamar sendiri. Saya kira dia hanya nonton YouTube," kata seorang ayah. Pengawasan minim, ditambah dengan literasi digital yang rendah, membuat anak jadi mudah menjadi pelaku atau korban.

    Daripada Sekadar Wacana, Ini yang Seharusnya Dilakukan:

    1. Guru Harus Melek Digital: Pelatihan intensif, bukan sekadar seminar.

    2. Kolaborasi dengan Platform: Undang TikTok, Instagram, atau X untuk workshop langsung ke sekolah.

    3. Satgas Cyberbullying di Sekolah: Tim khusus yang merespons cepat laporan bullying, bukan menghakimi korban.

    4. Edukasi untuk Orang Tua: Sekolah harus aktif mengajak orang tua memahami dunia digital anaknya.

    Jadi, apa pendapatmu?
    Apakah edukasi medsos di sekolah akan efektif, atau hanya jadi bahan hafalan tanpa makna?

 

ilustrasi beasiswa LPDP EduWithSTEAM.com
Jakarta – Kabar buruk bagi ribuan pelajar dan profesional Indonesia yang bercita-cita melanjutkan studi dengan beasiswa LPDP. Data terbaru menunjukkan penurunan drastis jumlah penerima beasiswa LPDP pada tahun 2025. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini bentuk penghematan negara atau justru indikasi salah urus anggaran pendidikan?

Angka yang Bicara: Dari Ribuan Hanya Tinggal Ratusan?

Tahun sebelumnya, LPDP membiayai ribuan mahasiswa untuk studi di dalam dan luar negeri. Namun, pada 2025, kuota dipangkas signifikan. Seorang calon awardee yang gagal seleksi mengungkapkan kekecewaannya: "Sudah mempersiapkan diri mati-matian, tiba-tiba dikatakan kuota dikurangi. Ini seperti harapan dibangun lalu dihancurkan."

Penyebab Turun: Penghematan atau Alasan Politikus?

Pemerintah beralasan kebijakan ini dilakukan untuk efisiensi anggaran dan memprioritaskan sektor lain. Namun, pengamat pendidikan menilai ini sebagai langkah mundur. "Di saat negara lain meningkatkan investasi pendidikan, kita justru memotongnya. Ini jelas menghambat lahirnya talenta-talenta terbaik bangsa," tegas Dr. Ahmad Mahendra, pengamat kebijakan pendidikan.

Dampak pada Mahasiswa: Mimpi Pupus, Wawasan Tertinggal

Banyak pelajar yang sudah menyiapkan dokumen dan rencana studi harus mengubur impian mereka. *"LPDP adalah jalan satu-satunya bagi saya untuk bisa S2 di luar negeri. Sekarang, saya harus mencari alternatif yang hampir tidak ada,"* keluh Sari, sarjana berprestasi asal Surabaya.

Pertanyaan Kritis: Kemana Larinya Anggaran Pendidikan?

Masyarakat pun mulai bertanya-tanya:

  • Apakah dana dialihkan untuk proyek lain yang tidak urgent?

  • Apakah ada kebocoran dalam pengelolaan anggaran?

  • Mengapa beasiswa untuk generasi terbaik justru dikurangi?

Kesimpulan: Masa Suram bagi Pendidikan Indonesia?

Penurunan jumlah penerima beasiswa LPDP bukan hanya tentang angka, tetapi tentang masa depan Indonesia. Jika akses pendidikan tinggi berkualitas dibatasi, maka negara ini hanya akan menghasilkan generasi yang tertinggal dalam persaingan global.

Apa pendapatmu?
Setuju dengan penghematan ini atau justru melihatnya sebagai pembunuhan karakter bangsa?


 

ilustrasi ekskul pic EduWithSTEAM.com

Bandung - Kemendikbud resmi mengumumkan 8 ekstrakurikuler yang bisa menjadi tiket masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tanpa tes mulai 2025. Kebijakan ini langsung menyulut kontroversi: Apakah ini bentuk apresiasi terhadap bakat non-akademik, atau justru menginjak-injak keringat anak yang berjuang lewat jalur akademik?

Ini Dia 8 "Jalan Tol" Baru Masuk PTN:

  1. Olahraga (sepak bola, futsal, basket, dll)

  2. Seni (tari, musik, teater)

  3. Pramuka

  4. Kewirausahaan

  5. Debat & Jurnalistik

  6. Robotics & Coding

  7. Pecinta Alam

  8. Palang Merah Remaja (PMR)

"Anak Saya Ranking 1, Kalah Sama Kiper Timnas U-19?"

Kebijakan ini dipertanyakan banyak orang tua. "Ini tidak adil! Anak saya belajar mati-matian dari pagi sampai malam, ranking 1, tapi bisa kalah tempat dengan anak yang cuma jago main futsal. Di mana keadilannya?" protes Andi, orang tua dari seorang calon mahasiswa di Tangerang.

Niat Baik yang Berpotensi Disalahgunakan:

Para pengamat pendidikan khawatir kebijakan ini akan membuka kotak Pandora baru.

  • Pemalsuan Sertifikat: Bagaimana memastikan prestasi di ekstrakurikuler itu asli?

  • Kesenjangan: Anak dari sekolah elite dengan fasilitas klub olahraga dan seni yang lengkap akan lebih diuntungkan.

  • Devaluasi Nilai Akademik: Apakah gelar "Juara 1 Lomba Tari Daerah" setara dengan nilai rapor sempurna dan juara olimpiade sains?

Pihak Kampus Bingung: "Kami Butuh Mahasiswa, Bukan Atlet!"

Sebagian dosen diam-diam meragukan kebijakan ini. "Kami di teknik elektro butuh calon mahasiswa yang paham matematika dan fisika, bukan striker andalan. Ini bisa jadi bumerang untuk kualitas pendidikan tinggi kita," ujar seorang dosen yang enggan namanya disebutkan.

Mimpi Buruk atau Peluang Emas?

Di satu sisi, kebijakan ini adalah angin segar bagi siswa berbakat non-akademik yang sering dipandang sebelah mata. Namun, tanpa sistem verifikasi yang super ketat, transparan, dan adil, kebijakan mulia ini berisiko besar:

  1. Menjadi Ajang Korupsi baru untuk "jual-beli" sertifikat prestasi.

  2. Menciptakan generasi mahasiswa yang passion-nya di lapangan tapi tidak siap dengan beban akademik kampus.

  3. Mengubur impian anak-anak rajin yang mengandalkan jalur akademik.

Jadi, apa pendapatmu?
Apakah ini langkah revolusioner yang tepat atau kesalahan besar yang akan merusak masa depan pendidikan Indonesia?


 

ilustrasi lulusan jurusan IPS pic EduWithSTEAM.com

Memilih jurusan kuliah ibarat menentukan jalan hidup. Namun, sebuah survey terbaru justru mengungkap betapa banyak lulusan yang merasa salah memilih jalan tersebut, khususnya di rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Data dari ZipRecruiter, sebuah platform perekrutan ternama di AS, menunjukkan bahwa sejumlah jurusan populer justru menempati peringkat teratas dalam daftar "jurusan dengan penyesalan tertinggi" di kalangan lulusannya. Hasilnya mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan penting bagi calon mahasiswa.

Sosiologi memuncaki daftar dengan 72% lulusannya menyatakan menyesal dengan pilihan mereka. Jurusan ini diikuti oleh Ilmu komunikasi (64%), dan Seni Rupa/Performa (61%) yang menutup tiga besar.

Lalu, apa saja 10 besar jurusan dengan penyesalan tertinggi?

  1. Sosiologi (72%)

  2. Ilmu Komunikasi (64%)

  3. Seni Rupa/Performa (61%)

  4. Pendidikan (60%)

  5. Hukum (59%)

  6. Bahasa Asing & Sastra (57%)

  7. Ilmu Politik (56%)

  8. Biologi (52%)

  9. Bahasa Inggris & Sastra (52%)

  10. Sejarah (51%)

Mengapa Banyak yang Menyesal?

Alasan utama yang mendominasi adalah prospek kerja yang dianggap terbatas dan kurang menjanjikan secara finansial. Banyak lulusan merasa bahwa ilmu yang mereka pelajari di bangku kuliah tidak langsung applicable dengan tuntutan skill di dunia kerja.

"Saya merasa jurusan saya terlalu umum dan tidak memberikan saya skill spesifik yang dicari perusahaan," ujar salah satu responden, yang mewakili suara 36% peserta survey.

Tapi, Apakah Semuanya Suram?

Tidak juga. Survey yang sama mengungkap jurusan-jurusan dengan tingkat penyesalan terendah, yang didominasi oleh bidang sains dan terapan seperti Ilmu Komputer, Keperawatan, Bisnis, dan Teknik. Hampir semua lulusan di bidang ini merasa puas karena merasa memiliki skill yang jelas dan permintaan pasar kerja yang tinggi.

Pelajaran untuk Calon Mahasiswa

Data ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membuka mata. Memilih jurusan tidak boleh hanya berdasarkan passion semata atau karena ikut-ikutan tren. Penelitian mendalam tentang kurikulum, prospek karir, dan skill yang akan didapat adalah kunci utama.

"Penting untuk menggali informasi sebanyak mungkin, tidak hanya dari website kampus, tetapi juga dari alumni yang sudah bekerja. Tanyakan pengalaman mereka," saran seorang konselor pendidikan.

Pada akhirnya, jurusan apapun bisa sukses selama diiringi dengan planning yang matang, skill tambahan di luar perkuliahan, dan networking yang baik. Yang terpenting adalah memilih dengan sadar, bukan asal pilih.

 

ilustrasi sedang ujian UTBK/TKA pic EduWithSTEAM.com

Ternyata Tidak! Ini Alasan Nilai UTBK TKA Tidak Dicetak di Ijazah

Jakarta, CNN Indonesia — Bagi para pejuang perguruan tinggi, hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dan nilai Tes Kemampuan Akademik (TKA) adalah segalanya. Nilai ini menjadi penentu utama untuk masuk ke kampus impian lewat jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Namun, sebuah pertanyaan kerap muncul: apakah nilai yang diperjuangkan mati-matian itu akan tercetak abadi di ijazah kelulusan SMA?

Jawabannya, tidak.

Berdasarkan penjelasan resmi dari Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud, Anang Ristanto, yang dikonfirmasi CNNIndonesia.com pada Jumat (15/8), terdapat perbedaan mendasar antara dokumen ijazah dan dokumen nilai UTBK.

"Nilai UTBK, termasuk nilai TKA, tidak dicantumkan dalam ijazah. Ijazah adalah dokumen yang memuat nilai-nilai hasil belajar selama mengikuti pendidikan di satuan pendidikan tersebut," jelas Anang.

Artinya, ijazah SMA murni hanya merekam capaian akademik siswa selama tiga tahun menempuh pendidikan di sekolah. Sementara, UTBK dan TKA adalah hasil dari sebuah tes masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan di luar lingkungan sekolah.

Lalu, Di Mana Nilai TKA Bisa Dilihat?

Meski tidak ada di ijazah, nilai UTBK dan TKA tetap tercatat secara resmi dan dapat diakses. Nilai-nilai ini dicantumkan dalam sertifikat UTBK yang dikeluarkan oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT). Sertifikat inilah yang menjadi dokumen resmi dan syarat mutlak untuk mendaftar SNBT dan beberapa jalur mandiri PTN.

Membedah Isi Ijazah dan Sertifikat UTBK:

  • Ijazah SMA/Sederajat:

    • Berisi nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah untuk setiap mata pelajaran.

    • Mencantumkan nilai rata-rata akhir.

    • Diterbitkan oleh sekolah dan Dinas Pendidikan.

  • Sertifikat UTBK (dari LTMPT):

    • Berisi nilai total UTBK dan rincian nilainya (TPS dan TKA).

    • Menjadi bukti kelulusan peserta dalam tes UTBK.

    • Diterbitkan oleh LTMPT sebagai penyelenggara tes.

Mengapa Penting untuk Diketahui?

Klrifikasi ini penting untuk menghilangkan kebingungan di kalangan siswa dan orang tua. Banyak yang mengira karena bobotnya sangat besar untuk masuk PTN, nilai TKA akan menjadi bagian dari rekam jejak akademik di ijazah. Faktanya, kedua dokumen ini memiliki fungsi dan otoritas penerbit yang sama sekali berbeda.

Jadi, meski tidak terpampang di ijazah, nilai TKA tetaplah sangat krusial. Perjuanganmu mengerjakan soal-soal TKA adalah kunci untuk membuka pintu kuliah, sementara ijazah adalah bukti penyelesaian pendidikan menengahmu.

 

ilustrasi Profesi Ini Diprediksi Punah pada 2030 pic EduWithStEAM.com

Jakarta – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang semakin pesat tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga ancaman bagi beberapa jenis pekerjaan. Berdasarkan penelitian terbaru dari World Economic Forum (WEF) dan McKinsey Global Institute, setidaknya ada 5 profesi yang diprediksi akan hilang pada tahun 2030 akibat otomatisasi dan AI.

"Kita sedang memasuki era di mana mesin bisa melakukan pekerjaan manusia dengan lebih cepat, akurat, dan murah. Beberapa profesi yang selama ini dianggap aman, ternyata rentan tergantikan," jelas Dr. Andi Wijaya, pakar ekonomi digital dari Universitas Indonesia.

1. Kasir dan Teller Bank

  • Alasan: Sistem pembayaran digital dan mesin self-checkout sudah mulai menggantikan peran kasir. Bank juga mengadopsi chatbot dan layanan digital untuk transaksi sederhana.

  • Fakta: Di Jepang dan AS, 30% gerai retail sudah tidak menggunakan kasir manusia.

2. Operator Telepon/Customer Service

  • Alasan: AI seperti chatbot dan voice assistant (contoh: Google Assistant, Alexa) bisa menangani keluhan pelanggan 24/7 tanpa lelah.

  • Statistik: Menurut Gartner, 85% interaksi customer service akan dikelola AI pada 2030.

3. Pekerja Pabrik (Assembly Line Workers)

  • Alasan: Robot industri semakin canggih dan mampu bekerja tanpa henti. Perusahaan seperti Tesla sudah menggunakan fully automated factories.

  • Dampak: Di China, 12 juta lowongan kerja manufaktur hilang karena robotisasi dalam 5 tahun terakhir.

4. Analis Data Entry & Administrasi

  • Alasan: AI seperti OCR (Optical Character Recognition) dan machine learning bisa mengolah data lebih cepat tanpa human error.

  • Contoh: Software seperti UiPath dan Tableau bisa melakukan analisis data dalam hitungan detik.

5. Supir Taksi/Truk Konvensional

  • Alasan: Mobil otonom (self-driving car) dari Tesla, Waymo, dan perusahaan lain akan mendominasi transportasi.

  • Prediksi: Menurut MIT, 80% angkutan barang akan menggunakan kendaraan otonom pada 2030.


Kata Pakar:

Prof. Rini Setiowati, pakar ketenagakerjaan dari LPEM UI, mengatakan:
"Ini bukan berarti lapangan kerja akan hilang semua, tapi berubah. Pekerja harus beradaptasi dengan meningkatkan skill di bidang yang tidak bisa digantikan AI, seperti kreativitas dan emotional intelligence."


Solusi untuk Pekerja:

✔ Upskill & Reskill: Belajar bidang yang tidak bisa digantikan AI (contoh: programming, AI ethics, kreatif konten).
✔ Beralih ke Profesi Baru: Pertimbangkan karir di green jobs (energi terbarukan) atau care economy (perawat, psikolog).
✔ Manfaatkan AI: Gunakan tools AI seperti ChatGPT atau Midjourney untuk meningkatkan produktivitas, bukan ditakuti.


Cerita Nyata:

Budi, mantan supir taksi, kini beralih menjadi teknisi drone setelah mengikuti pelatihan digital. "Saya sadar mobil tanpa sopir akan datang, jadi saya memutuskan belajar skill baru," katanya.

 

Jakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali menghadirkan fasilitas bermanfaat bagi para pelajar. Kali ini, Kemendikbudristek merilis simulasi Tes Kompetensi Akademik (TKA) secara gratis untuk membantu siswa mempersiapkan diri menghadapi ujian dengan lebih baik.

Simulasi TKA ini dapat diakses secara online dan menyediakan berbagai jenis soal yang mirip dengan ujian sebenarnya. Dengan adanya platform ini, siswa bisa berlatih kapan saja dan di mana saja tanpa harus mengeluarkan biaya.

"Ini adalah bentuk dukungan kami untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan simulasi ini, siswa bisa lebih siap dan percaya diri saat menghadapi ujian," ujar Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Apa Saja Fitur Simulasi TKA Gratis Ini?

  1. Bank Soal Lengkap: Soal-soal mencakup berbagai mata pelajaran, termasuk Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa.

  2. Pembahasan Jawaban: Setelah mengerjakan soal, siswa bisa melihat pembahasan untuk memahami kesalahan.

  3. Mode Latihan & Ujian: Siswa bisa memilih mode latihan per topik atau simulasi ujian lengkap dengan timer.

  4. Statistik Kemampuan: Platform ini mencatat perkembangan belajar siswa, sehingga mereka tahu di mana kelebihan dan kelemahannya.

Bagaimana Cara Mengaksesnya?

Siswa bisa mengunjungi link resmi yang disediakan Kemendikbudristek melalui situs Kemendikbud atau langsung melalui tautan ini.

Tanggapan Siswa

Banyak siswa yang antusias menyambut kehadiran simulasi ini. "Ini sangat membantu, apalagi buat kami yang sedang persiapan ujian. Soalnya mirip banget dengan yang keluar di ujian sebelumnya," kata Rina, siswi kelas 12 di Jakarta.

Tips Memanfaatkan Simulasi TKA

  • Jadwalkan Latihan Rutin: Siswa disarankan berlatih minimal 30 menit setiap hari.

  • Analisis Hasil: Perhatikan soal-soal yang sering salah dan pelajari pembahasannya.

  • Gunakan Mode Ujian: Latih kemampuan mengatur waktu dengan mode ujian lengkap.

Apa Kata Guru?

Guru-guru juga menyambut positif inisiatif ini. "Simulasi ini sangat berguna untuk melatih siswa terbiasa dengan jenis soal ujian. Kami di sekolah juga mendorong siswa untuk memanfaatkannya," ujar Bu Siti, guru SMA di Bandung.


Poin-Poin Kunci:

✔ Gratis & Mudah Diakses: Siswa tidak perlu bayar untuk berlatih.
✔ Soal Mirip Ujian Asli: Membantu siswa lebih siap menghadapi ujian.
✔ Fitur Lengkap: Dilengkapi pembahasan dan statistik kemampuan.

Ayo Segera Coba!
"Jangan tunggu sampai ujian tiba. Manfaatkan simulasi ini sekarang juga untuk persiapan maksimal!"

Tips Tambahan:

  • Gabung grup belajar online untuk diskusi soal bersama teman.

  • Pantau update terbaru dari Kemendikbudristek untuk informasi lainnya.

Dengan adanya simulasi TKA gratis ini, diharapkan semakin banyak siswa yang bisa meraih hasil maksimal dalam ujian. Selamat belajar! 🚀

 

ilustrasi tujuan pic EduWithSTEAM.com

Jakarta – Bagi siswa yang menyukai Matematika dan Fisika, memilih jurusan kuliah bukan sekadar tentang passion, tetapi juga peluang karir yang cerah. Di era teknologi dan data-driven seperti sekarang, lulusan dengan dasar kuat di bidang eksakta semakin dibutuhkan.

Berdasarkan riset Kementerian Pendidikan dan Badan Pusat Statistik (BPS), berikut 10 jurusan kuliah terbaik untuk siswa yang jago Matematika dan Fisika, lengkap dengan prospek kerja dan kisaran gajinya:

1. Teknik Fisika

  • Apa yang Dipelajari? Gabungan fisika terapan, elektronika, dan material science.

  • Prospek Kerja: Engineer di industri energi, aerospace, atau R&D perusahaan teknologi.

  • Gaji Fresh Graduate: Rp 8–15 juta/bulan.

2. Matematika Murni/Terapan

  • Apa yang Dipelajari? Aljabar, kalkulus, pemodelan matematis.

  • Prospek Kerja: Data Scientist, Aktuaris (asuransi), atau peneliti.

  • Gaji: Rp10–20 juta/bulan (tergantung spesialisasi).

3. Teknik Elektro & Robotika

  • Apa yang Dipelajari? Rangkaian listrik, AI, dan automasi.

  • Prospek Kerja: Robotics Engineer, IoT Specialist.

  • Gaji: Rp 12–25 juta/bulan di perusahaan multinasional.

4. Astronomi

  • Apa yang Dipelajari? Fisika luar angkasa, kosmologi.

  • Prospek Kerja: Peneliti di LAPAN atau lembaga antariksa global.

5. Teknik Nuklir

  • Prospek Kerja: BATAN, PLTN, atau bidang medis (radioterapi).

6. Ilmu Komputer / Data Science

  • Kenapa Cocok? Matematika adalah dasar pemrograman dan machine learning.

  • Gaji: Rp15–30 juta/bulan untuk posisi AI Engineer.

7. Teknik Penerbangan

  • Prospek Kerja: Garuda Indonesia, Boeing, atau startup drone.

8. Aktuaria

  • Fokus: Matematika asuransi dan manajemen risiko.

  • Gaji: Rp20 juta+/bulan (sertifikasi internasional dibutuhkan).

9. Renewable Energy Engineering

  • Peluang: Indonesia sedang gencar transisi ke energi hijau.

10. Fisika Medis

  • Peran: Ahli radiologi atau pengembang alat kesehatan.


Tips Memilih Jurusan:

✅ Cocokkan dengan minat (suka hitung-hitungan atau eksperimen lab?).
✅ Lihat tren pasar kerja (contoh: AI dan energi terbarukan sedang booming).
✅ Cek kampus terbaik (ITB, UI, UGM, dan ITS unggul di bidang eksakta).


Cerita Sukses:

*Andi, lulusan Teknik Fisika ITB, kini bekerja di startup otomotif listrik dengan gaji Rp 25 juta/bulan. "Dasar Matematika & Fisika sangat membantu saya dalam mendesain baterai," ujarnya.*


Apa Jurusan Favoritmu?

"Teknik Nuklir atau Data Science? Share di komentar!" ðŸ’¡


 

ilustrasi LPDP 2026: Beasiswa Tak Lagi Umum, Fokus ke STEM, Energi Bersih, dan AI

Jakarta – Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) akan mengubah skema pemberian beasiswa mulai 2026. Jika sebelumnya beasiswa LPDP mencakup berbagai disiplin ilmu, kini fokusnya akan diprioritaskan pada bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM)energi terbarukan, dan kecerdasan buatan (AI).

Perubahan ini dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan global di era digital dan transisi energi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa Indonesia perlu memperkuat sumber daya manusia (SDM) di sektor strategis untuk bersaing di kancah internasional.

"Kita tidak bisa lagi mengandalkan sumber daya alam saja. Dunia bergerak ke teknologi hijau, digitalisasi, dan AI. LPDP harus mendorong lahirnya talenta-talenta unggul di bidang ini," tegasnya dalam konferensi pers, Senin (10/6).

Apa yang Berubah?

  1. Penyesuaian Kuota: Beasiswa untuk STEM, energi bersih, dan AI akan mendapat porsi lebih besar dibandingkan bidang sosial-humaniora.

  2. Syarat Tambahan: Calon penerima diharuskan memiliki proposal penelitian atau rencana studi yang selaras dengan prioritas nasional, seperti pengembangan baterai listrik, komputasi kuantum, atau smart grid.

  3. Kolaborasi dengan Industri: LPDP akan bekerja sama dengan perusahaan teknologi (seperti Google, Tesla, atau startup lokal) untuk memastikan lulusan langsung terserap pasar kerja.

Reaksi Publik
Kebijakan ini menuai pro-kontra. Sebagian mahasiswa menyambut baik karena membuka peluang besar di sektor masa depan. Namun, pelajar di bidang sosial-humaniora khawatir akan kesempatan yang semakin sempit.

"Saya mendukung fokus ke STEM, tapi jangan sampai bidang seperti hukum atau pendidikan terabaikan. Indonesia butuh SDM yang seimbang," kata Devina, mahasiswi Universitas Indonesia.

Apa Dampaknya?

  • Peluang Karir: Lulusan STEM diprediksi akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, terutama di sektor green energy dan digital economy.

  • Investasi Asing: Perusahaan teknologi global mungkin akan lebih tertarik berinvestasi di Indonesia jika tersedia tenaga ahli lokal.

  • Tantangan: Pemerintah perlu memastikan infrastruktur pendidikan (lab, dosen ahli, kurikulum) siap mendukung perubahan ini.

Kata Ahli
Prof. Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Riset dan Teknologi, menilai langkah ini tepat tetapi perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas kampus"Jangan sampai beasiswa ada, tapi fasilitas riset untuk energi terbarukan atau AI masih minim," ujarnya.

Aksi Selanjutnya
LPDP akan menggelar roadshow ke berbagai kampus untuk mensosialisasikan perubahan ini. Pendaftar beasiswa 2026 disarankan mulai mempelajari data science, rekayasa energi, atau robotika agar lebih kompetitif.


Poin-Poin Kunci:

✔ Perubahan Besar: LPDP tidak lagi mendanai semua bidang secara merata.
✔ Alasan: Menyiapkan SDM untuk revolusi industri 4.0 dan transisi energi.
✔ Pro-Kontra: Bidang non-STEM mungkin terpinggirkan, tetapi peluang di sektor teknologi makin terbuka.

Apa Pendapatmu?
"Setuju dengan fokus STEM atau justru khawatir bidang lain akan tertinggal? Bagikan pandanganmu di kolom komentar!"

 

ilustrasi Durasi Screen Time Anak SD-SMA pic EduWithSTEAM.com

akarta – Pemerintah baru saja merilis panduan durasi screen time untuk anak sekolah. SD maksimal 3 jam/hari, SMP 5 jam, dan SMA 7 jam. Tapi, para ahli justru angkat bicara: "Ini bukan solusi, ini bom waktu!"

"7 Jam? Itu Hampir Seperti Kerja Kantoran!"

Bayangkan: Anak SMA boleh menatap layar 7 jam sehari—hampir sama dengan jam kerja orang dewasa. Dokter spesialis anak, dr. Arifianto, angkat suara: "Ini terlalu longgar! Riset menunjukkan lebih dari 2 jam sehari sudah pengaruhi kesehatan mental dan fisik anak."

Orang tua pun bingung. *"Kalau sekolah online pakai Zoom 4 jam, terus PR-nya lewat Google Classroom, habis itu main game ‘istirahat’, gimana hitungnya?"* tanya Dian, ibu dua anak di Depok.

Aturan vs Realita: Sekolah Online, Medsos, dan Game

Panduan ini mengabaikan fakta bahwa:

  • Sekolah sekarang banyak tugas digital.

  • Media sosial & game sudah jadi "teman main" wajib.

  • Konten short-form (TikTok, Reels) bikin ketagihan.

*"Durasi boleh 7 jam, tapi otak anak tidak dirancang untuk konsumsi layar terus-menerus. Ini resep gagal fokus dan gangguan tidur,"* tegas psikolog anak, Vera Itabiliana.

Orang Tua Terjepit: Larang atau Ikutin Aturan?

Beberapa ayah-ibu memilih strict parenting: *"Anakku cuma boleh 1 jam/hari, itu juga habis tugas sekolah,"* kata Rudi, ayah seorang SMP. Tapi banyak yang pasrah: "Mau gimana lagi? Sekolah aja suruh pakai iPad."

Alternatif Solusi atau Sekadar Aturan Kosong?

Pemerintah bilang ini "pedoman", tapi tanpa:
✔ Edukasi bahaya blue light & kecanduan digital.
✔ Solusi aktivitas pengganti (olahraga, membaca buku).
✔ Dukungan bagi keluarga yang minim akses hiburan non-gadget.

Kesimpulan: Anak-anak Kita Jadi Kelinci Percobaan?

Daripada sekadar kasih angka, lebih baik:

  1. Sekolah kurangi tugas digital.

  2. Orang tua dididik cara atur screen time tanpa konflik.

  3. Pemerintah wajibkan platform digital batasi konten adiktif untuk anak.

Kalau tidak? Bersiaplah lihat generasi "mata minus, emosi labil, dan sulit tidur" di masa depan.

Bagaimana pendapatmu? "Setuju dengan aturan ini atau justru khawatir anak kecanduan gadget?"

 

 

ilustrasi dari dot com ke ai pic EduWithSTEAM.com

Jakarta – Dunia sedang menyaksikan ketimpangan ekonomi paling ekstrem dalam sejarah. Kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan miliarder baru lebih cepat dari era dot-com, tetapi di saat yang sama, jutaan pekerja biasa justru kehilangan penghasilan dan terancam tergantikan.

Fakta Mengerikan yang Tak Banyak Diberitakan:

  1. AI Hasilkan 37 Miliarder Baru dalam 3 Tahun – Lebih cepat dari era dot-com yang butuh 10 tahun untuk pencapaian serupa.

  2. Perusahaan AI Raksasa Cetak Untung Rp 500 Triliun/Tahun – Sementara UMKM dan pekerja tradisional kolaps karena tak mampu bersaing.

  3. Gaji Pekerja di Sektor Konvensional Stagnan 10 Tahun Terakhir – Bahkan turun di beberapa bidang karena otomatisasi.

"Ini bukan pertumbuhan ekonomi, ini perampokan terstruktur," kritik Dr. Rina Mahdiana, Ekonom Universitas Indonesia"Kekayaan mengalir deras ke segelintir pemilik modal, sementara masyarakat biasa jadi korban."

Bagaimana AI Jadi "Mesin Uang" Para Elite?

  • Startup AI seperti NeuroMind dan QuantumAI bisa valuasi Rp 100 triliun dalam hitungan bulan – Padahal belum untung.

  • CEO perusahaan AI bisa dapat bonus Rp 2 triliun/tahun – Setara gaji 50.000 buruh pabrik.

  • Algoritma trading AI kuasai 80% pasar saham – Manusia biasa tak bisa saingi kecepatan robot.

Tapi Rakyat Biasa Dapat Apa?

  • PHK massal di sektor ritel, manufaktur, bahkan jasa hukum & medis karena AI lebih murah.

  • Generasi muda terancam tak dapat kerja – Lowongan manusia terus menyusut.

  • Harga kebutuhan melambung karena konglomerat AI monopoli pasar.

*"Saya di-PHK setelah 15 tahun kerja di bank, diganti sistem AI. Sekarang jadi driver ojol, penghasilan turun 70%,"* keluh Andi (45), mantan manajer bank di Jakarta.

Pemerintah Diam, Miliarder AI Makin Kaya

Sementara negara-negara lain mulai kenakan pajak super untuk perusahaan AI, Indonesia justru memberi insentif. Dana haji dan BPJS dipakai investasi di startup AI, tapi hasilnya hanya dinikmati segelintir orang.

"Ini darurat ketimpangan! Jika tak ada intervensi, 5 tahun lagi 1% orang akan kuasai 99% kekayaan negeri ini," peringatkan Faisal Basri, Ekonom Senior.

Masa Depan Suram atau Masih Ada Harapan?

Beberapa solusi radikal mulai didorong:
✅ Pajak 90% untuk keuntungan perusahaan AI
✅ UBI (Universal Basic Income) untuk warga yang terdisrupsi
✅ Pelarangan monopoli algoritma oleh korporasi

Tapi dengan kekuatan lobi para miliarder tech yang menguasai politik, apakah perubahan mungkin terjadi?


Apa Pendapatmu?
"Setuju nggak sih kalau AI cuma bikin orang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara? Atau kamu termasuk yang diuntungkan?"

EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget