July 2025

Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Cosmology and Astroparticle Physics menantang salah satu teori paling fundamental dalam fisika—teori Big Bang. Jika selama ini buku teks mengajarkan bahwa alam semesta dimulai dari ledakan dahsyat 13,8 miliar tahun lalu, teori baru ini justru mengusulkan sesuatu yang lebih radikal: mungkin tidak ada "awal" sama sekali!

Big Bang Bukan Lagi Awal Segalanya?

Tim ilmuwan yang dipimpin oleh Dr. Jan Gundlach dari University of Washington mengusulkan model kosmologi baru bernama "teori keadaan kuantum abadi". Menurut mereka, alam semesta mungkin tidak pernah benar-benar "dimulai", melainkan selalu ada dalam siklus kuantum yang tak terputus.

"Bayangkan alam semesta seperti ombak di lautan—terus bergerak, berubah, tapi lautannya sendiri selalu ada," kata Gundlach dalam wawancara eksklusif.

Bukti yang Membingungkan

Teori ini muncul setelah para peneliti menemukan ketidaksesuaian dalam pengamatan radiasi latar belakang kosmik (CMB), yang selama ini dianggap sebagai "jejak" Big Bang. Data terbaru menunjukkan pola fluktuasi energi yang tidak sepenuhnya cocok dengan prediksi model konvensional.

Beberapa fisikawan bahkan mulai mempertanyakan: "Apa jika singularitas Big Bang hanyalah ilusi matematis?"

Reaksi Dunia Sains: Antara Skeptis dan Antusias

  • Dr. Neil Turok (fisikawan teoris): "Ini bisa menjadi revolusi terbesar sejak Einstein!"

  • Prof. Lisa Randall (ahli fisika Harvard): "Masih terlalu dini untuk membuang teori Big Bang, tapi ide ini patut diteliti."

  • Kritikus: "Tanpa bukti empiris lebih kuat, ini masih spekulasi."

Apa Artinya bagi Kita?

Jika teori ini benar, konsep waktu, ruang, dan bahkan asal-usul kita mungkin harus ditulis ulang. Tidak ada "awal waktu", tidak ada "ketiadaan sebelum Big Bang"—alam semesta mungkin abadi dalam bentuk yang tak terbayangkan.

 

ilustrasu Krisis Calon Ilmuwan pic EduWithSTEAM.com

"Krisis Calon Ilmuwan! Mahasiswa Indonesia Kabur dari Prodi STEAM – Padahal Gaji Tinggi Menanti!"

Riau – Di tengah gempuran teknologi dan industri 4.0, minat mahasiswa Indonesia terhadap jurusan Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics (STEAM) justru merosot tajam. Padahal, lapangan kerja untuk lulusan STEM sedang membara, dengan gaji yang jauh di atas rata-rata!

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto membongkar fakta mengejutkan ini dalam Tanoto Scholars Gathering 2025 di Riau, Kamis (24/7/2025).

"Peminat STEAM turun. Kalau pun ada yang masuk, jumlahnya hanya naik sedikit atau malah berkurang," ujar Brian lewat sambungan Zoom.

Ironisnya, justru di saat yang sama, industri kelabakan mencari lulusan STEAM. "Permintaan tenaga STEAM sangat tinggi! Tapi sayang, banyak yang cuma bermodal pengetahuan umum. Padahal, yang dibutuhkan adalah analisis kuat dan keahlian spesifik," tegasnya.

Indonesia Kekurangan Ilmuwan, Presiden Turun Tangan!

Data Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mengonfirmasi kekhawatiran ini. Hanya 19% sarjana Indonesia yang lulus dari jurusan STEAM.

Muhammad Oriza, Direktur Investasi LPDP, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto langsung memberi instruksi agar beasiswa STEAM diperbanyak. "Pak Presiden minta lebih banyak anak muda dikirim kuliah STEAM pakai beasiswa LPDP," ujarnya.

LPDP pun kini berburu mahasiswa yang mau mengambil jurusan STEAM dengan memberikan insentif khusus"Kami sangat perhatian ke calon penerima beasiswa STEAM karena Indonesia masih kekurangan," tambah Oriza.

Anak Muda Malas STEAM? Ini Bahayanya!

Fenomena ini bisa menjadi bom waktu bagi Indonesia. Jika tren ini terus berlanjut, negara ini akan ketergantungan pada tenaga ahli asing di sektor teknologi, energi, dan kesehatan.

Benny Lee, CEO Tanoto Foundation, menekankan pentingnya pemimpin muda yang melek STEAM"Kami tak hanya beri beasiswa, tapi juga bekali soft skills dan kepemimpinan agar mereka jadi agen perubahan," ujarnya dalam acara yang dihadiri 291 mahasiswa dari berbagai universitas ternama itu.

Kesempatan Emas! Saingan Sedikit, Peluang Besar

Brian Yuliarto justru melihat ini sebagai peluang emas bagi generasi muda. "Kalau masuk STEAM sekarang, saingannya sedikit. Tapi lapangan kerjanya luas!" pesannya.

Jadi, masih mau ikut-ikutan ambil jurusan yang "biasa saja" padahal masa depan STEAM jauh lebih cerah? Pilihan ada di tanganmu!


ilustrasi sekolah SMKBisa.id  (pic EduWithSTEAM.com) 

Transformasi Pendidikan SMK di Era Digital dengan SMKBisa.id

Bandung - Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia kini memiliki wadah terbaru untuk mencetak lulusan yang kompeten dan siap bersaing di kancah nasional maupun internasional. SMKBisa.id hadir sebagai solusi pendidikan berbasis digital, dilengkapi teknologi canggih yang mendukung pembelajaran modern.

SMKBisa.id: Platform Digital untuk SMK Unggul

SMKBisa.id bukan sekadar website, melainkan sebuah ekosistem pendidikan yang mempersiapkan siswa SMK menghadapi tantangan dunia digital. Dengan dukungan sarana dan prasarana mutakhir, platform ini membantu siswa lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Hadiri : 

Keunggulan SMKBisa.id:

✅ Adaptif & Cepat Tanggap – Siswa diajarkan untuk mengikuti perkembangan digital, termasuk penguasaan platform media sosial sesuai algoritma dan tren terkini.
✅ Siap Kerja – Kombinasi teori dan praktik disesuaikan dengan prospek kerja jurusan, memastikan lulusan siap terjun ke industri.
✅ Berbasis Karakter – Pembentukan sikap santun dan profesional melalui pembiasaan di sekolah.
✅ Kreatif & Inovatif – Siswa didorong untuk menciptakan ide-ide baru yang berkontribusi pada kemajuan digital.

Syarat Aktivasi Mudah

Untuk bergabung, sekolah hanya perlu memenuhi:

  • Kartu Tanda Penduduk (KTP) penanggung jawab

  • Surat keterangan dari Kepala Sekolah

Mengapa Memilih SMKBisa.id?

"Kami ingin memastikan bahwa lulusan SMK tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu bersaing di era digital yang terus berkembang," jelas perwakilan SMKBisa.id.

Dengan mengusung semangat "SMK Bisa Hebat!", platform ini siap menjadi mitra terbaik bagi sekolah kejuruan di Indonesia dalam mencetak generasi siap kerja dan unggul di dunia digital.

Ayo daftarkan sekolahmu sekarang di www.smkbisa.id dan raih masa depan gemilang!



 

ilustrasi Urgensi Filsafat di Tengah Gempuran Artificial Intelligence pic EduWithSTEAM.com

Di tengah gempuran teknologi dan dominasi kecerdasan buatan (AI) dalam kehidupan manusia, ada satu pertanyaan besar yang menggelitik benak para cendekiawan: apakah filsafat sudah usang? Atau justru, di era digital ini, kita paling membutuhkannya?

Pertanyaan ini menjadi jantung diskusi mendalam antara Syifa Amin Widigdo (Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dan cendekiawan muslim Syamsuddin Arif dalam podcast kanal Wonderhome Library, Sabtu (26/07). Tema yang diangkat cukup menggugah: relevansi filsafat di era ketika manusia mulai menyerahkan banyak hal kepada algoritma.

"Kalau Tidak Berguna, Kenapa Harus Dipelajari?"

Syamsuddin Arif mengawali dengan menantang pemahaman populer yang hanya menilai ilmu dari manfaat praktisnya. Ia mengingatkan bahwa tidak semua ilmu harus “terpakai” secara langsung. Ada yang memang dipelajari demi pengetahuan itu sendiri — dan filsafat adalah contohnya.

Mengutip ulama klasik Asyahrastani, Arif menjelaskan bahwa ilmu terbagi dua: ilmu praktis (yang bisa langsung diterapkan), dan ilmu teoritis (yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran). “Kalau tujuannya untuk cari manfaat langsung, ya belajar pertukangan. Tapi kalau ingin tahu makna hidup, hakikat kebenaran, maka filsafat jalannya,” tegasnya.

Antara “Know-How” dan “Know-Why”

Filsafat melatih manusia berpikir mendalam, rasional, dan abstrak — kemampuan yang justru tidak bisa ditiru oleh mesin. Di tengah dorongan pendidikan tinggi untuk sekadar “link and match” dengan industri, filsafat datang mengingatkan bahwa manusia tidak hanya butuh keterampilan teknis, tetapi juga kecakapan berpikir, memahami, dan merenungi.

Syifa Amin menambahkan bahwa semua ilmu, termasuk matematika sekalipun, pada akhirnya memiliki dimensi teoritis. “Ngitung harga belanja bisa dengan kalkulator, tapi membangun analytical mind lewat matematika itu level yang berbeda,” ujarnya.

Peringatan dari Dunia Muslim: Pembangunan Tak Cukup Fisik Saja

Dalam konteks umat Islam, Syamsuddin Arif mengkritik kecenderungan pemerintah yang terlalu fokus pada sains dan teknologi, tetapi melupakan pembangunan jiwa dan intelektualitas. Ia mengingatkan: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Pembangunan tak hanya soal infrastruktur, tapi juga membentuk manusia yang berpikir dan punya nilai.

Di negara-negara seperti Jerman, lembaga riset masih mendanai penelitian manuskrip filsafat klasik. Kontras dengan banyak negara Muslim yang justru menyingkirkan humaniora dari prioritas.

Filsafat Islam Masih Dipertanyakan?

Menjelang akhir diskusi, Syifa mengangkat isu pelik: masih ada yang menganggap filsafat Islam bukan “filsafat sejati.” Syamsuddin menanggapi dengan keras: pandangan itu lahir dari eurosentrisme akademik, yang hanya mengakui warisan Plato dan Aristoteles. Ia menyebut pandangan itu sebagai bentuk kejumudan yang menutup pintu bagi khazanah besar peradaban Islam.

Di Mana Peran Filsafat Saat AI Menguasai Dunia?

Syamsuddin menyatakan bahwa filsafat menjadi benteng terakhir agar manusia tak kehilangan orientasi di tengah derasnya arus teknologi. Ia menegaskan: “Filsafat itu upaya untuk memanusiakan manusia.”

Di tengah revolusi AI yang serba efisien dan cepat, justru filsafatlah yang mengajak kita berhenti sejenak, bertanya, dan merenung: Siapa kita? Untuk apa hidup ini? Ke mana kita menuju?

 

ilustrasi kampus Danantara pic EduWithSTEAM.com

Bandung – Indonesia memasuki babak baru dalam dunia pendidikan tinggi dengan diluncurkannya Universitas Danantara, sebuah perguruan tinggi yang dirancang untuk mencetak talenta unggul di bidang Artificial Intelligence (AI), Engineering, dan Manajemen SDM. Peluncuran ini diumumkan langsung oleh Pandu Sjahrir, Chief Investment Officer Danantara, dalam acara Rakerda HIPMI Jaya.

Yang membuat universitas ini berbeda adalah kolaborasi strategisnya dengan 9 universitas terbaik dunia, termasuk Columbia University (AS), Tsinghua University (China), dan Stanford University (AS). Dengan dukungan kurikulum berstandar global, Universitas Danantara siap bersaing dengan kampus-kampus top dunia.

Fokus pada AI & Engineering: Langkah Strategis Hadapi Era Digital

Salah satu program unggulan Universitas Danantara adalah spesialisasi AI, yang dikembangkan bersama Tsinghua University—kampus yang menjadi pusat riset AI terkemuka di Asia. "Banyak ilmuwan kunci di OpenAI berasal dari sini. Kami ingin membawa keahlian serupa ke Indonesia," ujar Pandu.

Sementara itu, untuk bidang Engineering, Danantara bekerja sama dengan Stanford University, termasuk dalam pengembangan teknologi berkelanjutan (sustainability). Adapun Columbia University akan membantu merancang program yang menjawab tantangan global, seperti revolusi industri 4.0 dan transformasi digital.

Target Menjadi Pusat Inovasi Kelas Dunia

Kehadiran Universitas Danantara bukan sekadar menambah daftar perguruan tinggi di Indonesia, melainkan komitmen untuk menciptakan ekosistem pendidikan berkelas internasional"Kami ingin mahasiswa Indonesia tak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan terbaik," tegas Pandu.

Dengan fasilitas mutakhir dan pengajar dari berbagai universitas ternama, Universitas Danantara diproyeksikan menjadi pusat riset dan inovasi teknologi di Asia Tenggara. Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah untuk memperkuat SDM unggul di bidang strategis.

Antusiasme Dunia Pendidikan

Peluncuran Universitas Danantara telah memicu antusiasme di kalangan akademisi dan industri. "Ini momentum penting bagi Indonesia untuk mencetak talenta digital yang kompetitif di kancah global," komentar seorang pakar pendidikan.

Pendaftaran mahasiswa perdana diperkirakan dibuka pada 2026, dengan seleksi ketat untuk memastikan kualitas lulusannya. Siapkah Indonesia melahirkan generasi baru jenius AI dan engineering?

Sumber: Adaptasi dari Kompas.com dengan pengembangan narasi.

ilustrasi Membuat Anak Lepas dari Gawai pic EduWithSTEAM.com

"Anak Saya Lebih Akrab dengan Gadget Daripada dengan Saya" – Jeritan Hati Orang Tua di Era Digital

Jakarta, Juli 2025 – "Mama, lima menit lagi, please!" Itu kalimat yang sering diucapkan anak-anak ketika orang tua meminta mereka berhenti bermain gawai. Di era digital, perang melawan kecanduan layar menjadi tantangan terbesar orang tua.

Ketika Gadget Menjadi "Teman" Utama Anak

Wanti (40), ibu dua anak di Jakarta, mengeluh: "Batasi screen time 1 jam? Mereka malah ngamuk!" Anak-anaknya, yang biasa bermain game simulasi pertanian, sulit dialihkan meski sudah diiming-imingi aktivitas outdoor.

Sementara Tia (25) merasa bersalah karena anaknya yang masih balita bisa duduk anteng berjam-jam menonton YouTube. "Saya takut ini pengaruhi perkembangannya, tapi kalau tidak dikasih gadget, dia rewel terus," ujarnya.

Screen Time = Musuh? Pakar Bilang Tidak Selamanya

Menurut Joseph Blatt dari Harvard University, tidak semua screen time buruk. "Sama seperti buku, ada konten bagus dan sampah. Fokuslah pada kualitas, bukan durasi," katanya.

Contoh nyata:

  • Film Marvel bisa jadi bahan diskusi tentang keputusan moral

  • TikTok malah melatih kreativitas jika digunakan tepat

  • Game strategi mengasah problem-solving

Sarah Krongard, peneliti media, menambahkan: "Jangan larang TikTok mentah-mentah. Tanya dulu: apa yang anak dapatkan dari sana?"

4 Jurus Jitu Atasi Kecanduan Gadget

  1. Ganti Mindset
    Dari "berapa lama" ke "untuk apa" anak pegang gadget.

  2. Jadi Detektif Konten
    Cek apakah kontennya:

    • Mengandung kekerasan/bias

    • Stimulatif atau justru bikin pasif

  3. Duduk & Diskusi
    Tanyakan:
    "Apa serunya game ini?"
    "Kalau karakter ini pilih A bukan B, apa akibatnya?"

  4. Orang Tua Harus "Clean" Dulu
    "Anda sendiri bisa lepas dari HP berapa jam?" tanya Blatt. Anak adalah peniru ulung.

Kisah Sukses: Dari Gadget ke Kebun

Wanti akhirnya menemukan trik:

  • "Ayo, tanam biji sungguhan seperti di game-mu!"

  • Libatkan anak menyiram tanaman tiap pagi

  • Hasilnya? "Sekarang mereka malah minta ke kebun daripada minta HP," ujarnya bangga.


Poin Kritis untuk Orang Tua:

✅ Tidak ada screen time yang "aman" – yang ada adalah screen time "bermakna"
✅ 10 jam konten edukatif lebih baik daripada 1 jam konten sampah
✅ Anak kecanduan? Mungkin karena tidak ada alternatif yang lebih menarik

#GenerasiGadget #ParentingDigital #JanganCumaDisita

ilustrasi keluarga Homeschooling  pic EduWithSTEAM.com

Bandung - Setiap awal tahun ajaran baru, media sosial ramai dengan keluhan orangtua: antrean pendaftaran, sistem zonasi, biaya daftar ulang, hingga belanja seragam yang menguras dompet. Tapi tidak dengan keluarga Raka Nara (45) dan istrinya, Sita Larasati (42). Mereka memilih jalur sunyi—tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah formal.

Pilihan itu diambil sejak anak pertama mereka lahir. Bukan karena anti sistem, tapi karena mereka percaya: pendidikan sejati tak hanya terjadi di ruang kelas.

“Kalau semua anak dipaksa belajar hal yang sama, dengan cara yang sama, di waktu yang sama, bagaimana mungkin mereka bisa menemukan jati diri?” ujar Raka, yang bekerja sebagai ilustrator lepas dari rumah.

Sita mengangguk. Ia masih ingat jelas masa SMA-nya yang membosankan. Setiap hari hanya disuruh menyalin buku pelajaran. Ia nyaris kehilangan semangat belajar.

“Saya pernah bertanya, kalau guru hanya menyuruh kami menyalin buku, kenapa kami tidak langsung ke tukang fotokopi saja?”

Belajar dari Dapur, Pasar, dan Alam

Kini, ketiga anak mereka—Galang (19), Sekar (16), dan Bima (13)—belajar langsung dari kehidupan. Mereka belajar matematika saat memasak dan menakar bumbu, belajar menulis dari membuat resep, dan belajar logika saat berdiskusi atau bermain catur.

Setiap pagi dimulai dengan rapat keluarga. Anak-anak diberi kesempatan untuk memilih topik yang ingin mereka pelajari hari itu. Malamnya, mereka akan saling berbagi apa yang sudah dipelajari.

“Kami percaya semua indera harus bekerja dalam proses belajar,” ujar Sita. “Bukan hanya duduk diam mendengar dan mencatat.”

Tetap Bisa Kuliah

Galang, anak pertama mereka, kini tengah kuliah di jurusan Psikologi di Universitas Diponegoro setelah mengikuti ujian paket C. Sekar ingin menjadi ilustrator dan tengah membangun portofolio seninya. Bima, yang senang teknologi, tengah mengikuti kelas daring tentang robotika.

“Kami bukan menolak sekolah, kami hanya ingin pendidikan yang memanusiakan anak,” kata Raka.

Bukan untuk Semua Orang

Homeschooling, kata mereka, bukan metode sakti. Tidak cocok untuk semua keluarga, terutama yang kedua orangtuanya bekerja penuh di luar rumah.

Namun, bagi mereka yang bisa dan mau meluangkan waktu, homeschooling bukan sekadar “tidak sekolah”, tapi sebuah cara hidup yang menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek pendidikan.

“Kami tidak sedang menjauh dari sistem. Kami sedang membangun sistem baru—di rumah kami sendiri.”

ilustrasi Data Pribadi Indonesia Dijual ke AS: Bisnis Menggiurkan atau Ancaman Kedaulatan Digital?

Jakarta, Juli 2025 – Di era digital, data adalah kekuatan baru. Tapi ketika data pribadi warga Indonesia mengalir ke Amerika Serikat (AS) lewat kesepakatan dagang, muncul pertanyaan besar: Siapa sebenarnya yang diuntungkan?

Data = Emas Digital, Tapi Siapa yang Menambangnya?

Pakar Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha tegas menyatakan: "Data sekarang setara dengan minyak atau emas—komoditas strategis yang diperebutkan negara-negara besar."

Faktanya, AS—yang belum memiliki undang-undang perlindungan data seketat Uni Eropa (GDPR)—akan dengan leluasa mengakses data pribadi jutaan warga Indonesia. "Ini berisiko tinggi," tegas Persadha. "Korporasi teknologi dan bahkan lembaga intelijen AS bisa memanfaatkannya tanpa kontrol ketat."

Mengapa Data Begitu Berharga?

Bayangkan: Internet menyimpan 5 juta terabyte data, setara dengan 5-10 triliun buku 500 halaman. Data ini adalah bahan bakar AI, iklan digital, hingga kebijakan politik.

  • Perusahaan menggunakannya untuk prediksi pasar.

  • Pemerintah memanfaatkannya untuk kebijakan publik.

  • Aktor jahat bisa menyalahgunakannya untuk manipulasi atau penipuan.

Tapi kini, data Indonesia—termasuk riwayat belanja, lokasi, bahkan preferensi politik—bisa dikendalikan oleh entitas asing.

Transfer Data Lintas Negara: Peluang atau Jebakan?

Kesepakatan dagang Indonesia-AS membuka keran aliran data bebas. Namun, tanpa regulasi ketat, risiko penyalahgunaan semakin tinggi.

  • AS tidak punya UU perlindungan data federal seperti GDPR di Eropa.

  • Perusahaan seperti Google, Meta, dan Amazon bisa mengumpulkan data lebih leluasa.

  • Keamanan data warga Indonesia bergantung pada kebijakan perusahaan AS.

"Kita seperti memberi bahan baku gratis, lalu membeli produk jadi dengan harga mahal," kritik seorang analis digital.

Mana yang Lebih Penting: Ekonomi atau Privasi?

Pemerintah mungkin melihat ini sebagai peluang investasi digital. Tapi di sisi lain:

  • Apakah warga Indonesia sadar datanya diperjualbelikan?

  • Siapa yang menjamin data tidak bocor atau disalahgunakan?

  • Jika data adalah emas baru, mengapa kita tidak kuasai sepenuhnya?

"Ini bukan sekadar urusan bisnis, tapi kedaulatan digital," tegas Persadha.


Pertanyaan Kritis untuk Pembaca:

  1. Setujukah Anda jika data pribadi Anda diperdagangkan ke luar negeri?

  2. Haruskah Indonesia punya UU ketat seperti GDPR sebelum ekspor data?

  3. Siapa yang paling diuntungkan dari kesepakatan ini: rakyat atau korporasi?

#DataAdalahEmas #KedaulatanDigital #IndonesiaVsAS

 ilustrasi Generasi yang Kehilangan Kemampuan Membaca Dunia EduWithSTEAM.com

Bandung, 25 Juli 2025 — Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 65% siswa SMA kesulitan memahami teks sastra sederhana. Mereka bisa membaca kata per kata, tetapi gagal menangkap ironi, metafora, atau pesan moral di baliknya.

"Mereka Tak Lagi Terbiasa Berempati dengan Kata-Kata"
Dr. Fitriani, pakar pendidikan literasi, menjelaskan: "Ini bukan sekadar malas baca. Tapi karena dunia digital melatih otak mereka untuk konsumsi konten cepat—bukan perenungan."

Contoh nyata terlihat di SMA Negeri 5 Jakarta. Saat diajak menganalisis The Necklace, mayoritas siswa menyimpulkan cerita itu "tentang perempuan materialistik", tanpa menangkap kritik sosial di baliknya.

Dampak yang Mengkhawatirkan

  1. Pemikiran yang Datar: Tanpa kemampuan menafsirkan simbol, generasi muda rentan terjebak dalam pemahaman hitam-putih.

  2. Krisis Empati: Jika mereka tak bisa merasakan perjuangan Lencho (Letter to God), bagaimana bisa memahami penderitaan orang lain di dunia nyata?

  3. Kehilangan Identitas Budaya: Sastra adalah cerminan nilai masyarakat. Jika tak lagi dibaca, apa yang akan tersisa?

Apa Solusinya?
Beberapa sekolah mulai mencoba pendekatan baru:

  • Memadukan sastra dengan media digital, seperti membuat video pendek analisis cerpen.

  • "Kelas Membaca Emosional", di mana siswa diajak merasakan, bukan sekadar menghafal plot.

"Kami tak menyerah," kata Pak Guru di akhir wawancara. "Karena jika mereka tak lagi bisa membaca dunia, lalu siapa yang akan mengubahnya?"

ilustrasi Anak-anak yang Tak Lagi Bisa Membaca Dunia pic EduWithSTEAM.com

Cerita Pendek: "Daun Terakhir yang Tak Pernah Dibaca"

Di sudut kelas 12 IPA 4, Rara menatap layar ponselnya dengan bosan. Pak Guru sedang membahas The Last Leaf karya O. Henry, tapi telinganya lebih asyik mendengar notifikasi TikTok.

"Ini ceritanya tentang apa sih? Panjang banget," bisiknya ke teman sebangkunya, Dito.

"Katanya tentang daun terakhir yang nggak jatuh. Tapi bingung, ngapain dibahas panjang-panjang?" jawab Dito sambil memainkan pensil.

Pak Guru mencoba menarik perhatian mereka. "Coba kalian pikirkan, mengapa si pelukis rela kedinginan demi melukis daun itu? Apa artinya bagi Johnsy?"

Rara mengernyit. "Artinya dia nggak punya kerjaan lain kali, Pak," celetuknya. Kelas pun tertawa.

Pak Guru tersenyum getir. Dulu, murid-muridnya akan berdebat tentang makna pengorbanan. Sekarang? Mereka lebih tertarik pada durasi video yang tak lebih dari 30 detik.

Di rumah, Rara menemukan buku lama ibunya—kumpulan cerpen O. Henry. Sekilas, matanya tertuju pada satu kalimat: "Ketika daun terakhir itu tetap bertahan, Johnsy menemukan alasan untuk tidak menyerah."

Tiba-tiba, ia ingat saat neneknya sakit. Ia tak mengerti mengapa ibunya terus berjaga di rumah sakit, meski dokter bilang harapan kecil. Sekarang, ia paham. Daun itu adalah simbol. Tapi mengapa butuh bertahun-tahun baginya untuk menyadarinya?

Keesokan harinya, Rara mendatangi Pak Guru. "Pak, apa masih ada waktu untuk belajar membaca… bukan sekadar huruf, tapi makna?"


 

ilustrasi Generasi Instan vs. Sastra: Perlawanan Sunyi Seorang Guru pic EduWithSTEAM.com

Di sebuah ruang kelas, seorang guru berdiri dengan buku The Necklace karya Guy de Maupassant di tangannya. Ia berharap melihat mata siswa-siswanya berbinar saat menyelami ironi hidup Mathilde, atau setidaknya tersentuh oleh pengorbanan dalam The Last Leaf. Tapi yang ia dapatkan?

"Sir, too many words."
"Artinya apa sih? Malas buka kamus."

Suara-suara itu seperti tamparan. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena dunia telah mengajari mereka untuk terburu-buru. Kosakata seperti sacrificeillusion, atau hopelessness bukan sekadar asing di telinga—tapi juga tak menyentuh hati.

"Mereka Bisa, Tapi Tak Mau"
Masalahnya bukan teknologi. Kamus digital ada. Fitur translate instan tersedia. Tapi yang hilang adalah keinginan untuk memahami. Ketika Lencho dalam Letter to God disebut "idiot" alih-alih dimaknai sebagai kritik sosial, atau ketika daun terakhir dianggap sekadar daun—bukan simbol harapan—maka yang terjadi bukan sekadar krisis literasi.

Ini krisis kedalaman jiwa.

Dunia yang Memaksa Mereka Cepat, Bukan Tepat
Guru itu tahu, zaman telah berubah. Bahasa disingkat. Informasi dikemas dalam 15 detik. Membaca satu paragraf pun sudah dianggap beban. Tapi justru di situlah bahayanya: ketika kata-kata hanya jadi alat tukar informasi, bukan jendela makna.

Ia ingat masa ketika kamus tebal adalah sahabat. Sekarang, bahkan Google Translate tak disentuh kecuali terpaksa. Padahal, di balik setiap kata yang dicari, ada dunia baru yang menunggu untuk ditemukan.

"Mengapa Saya Masih Mengajarkan Sastra?"
Kadang ia merasa naif. Di tengah derasnya konten viral, ia masih berharap siswa tersentuh oleh metafora. Di era instant gratification, ia masih meminta mereka membuka kamus. Tapi mungkin, justru di kenaifan itulah letak perlawanannya.

"The Road Not Taken" karya Robert Frost mungkin tak lagi populer di kalangan Gen Z. Tapi guru itu yakin: suatu hari nanti, saat mereka terjebak dalam kehidupan yang datar, mereka akan teringat pada satu kalimat, satu cerita, atau satu daun yang tak pernah gugur—dan tiba-tiba, mereka mengerti.

"Karena membaca bukan sekadar melisankan huruf. Tapi menyelami jiwa yang tersembunyi di baliknya."


Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah refleksi atas krisis literasi yang tak hanya soal kemampuan baca-tulis, tapi juga keterhubungan emosional dengan kata-kata. Bagaimana pendapat Anda? Apakah generasi sekarang benar-benar kehilangan minat pada sastra, ataukah kita yang gagal mengemasnya dengan cara yang relevan?

 

ilustrasi Koperasi Merah Putih pic EduWithSTEAM.com

Dari Musyawarah ke Digitalisasi: Perjalanan Kopdes Merah Putih Membangun Kemandirian Desa


Di tengah semangat gotong royong dan inklusivitas, lahirlah Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai pilar penggerak kesejahteraan masyarakat desa. Melalui platform Kopdesa, proses pendirian koperasi menjadi lebih mudah, terarah, dan legal.


1. Musyawarah Desa: Fondasi Kebersamaan

Langkah awal dimulai dengan musyawarah desa yang melibatkan perangkat desa, tokoh masyarakat, dan calon anggota koperasi. Dalam forum ini, warga menyepakati jenis koperasi yang akan dibentuk, visi-misi, serta tujuan jangka panjang.


2. Pembentukan Struktur dan Penyusunan AD/ART

Setelah kesepakatan tercapai, dibentuklah kepengurusan koperasi yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Pengawas. Bersamaan dengan itu, disusun Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) koperasi yang mencakup aturan dasar, hak dan kewajiban anggota, serta mekanisme pengambilan keputusan.


3. Pembuatan Akta Notaris

Langkah selanjutnya adalah pembuatan akta pendirian koperasi melalui notaris. Kopdesa membantu seluruh proses administrasi dan komunikasi dengan notaris yang telah bekerja sama. Akta ini menjadi dokumen utama untuk mengurus legalitas koperasi secara nasional.


4. Pengurusan Legalitas: AHU, NPWP, NIK, dan NIB

Setelah akta notaris selesai, proses berlanjut ke tahap pengurusan legalitas koperasi:

  • AHU (Administrasi Hukum Umum) dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai bukti bahwa koperasi telah terdaftar secara resmi.

  • NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) koperasi untuk keperluan perpajakan dan administrasi keuangan.

  • NIK Koperasi, yang akan menjadi identitas koperasi dalam sistem nasional.

  • NIB (Nomor Induk Berusaha) melalui sistem OSS sebagai izin operasional koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Semua proses ini akan dibantu dan difasilitasi oleh tim profesional Kopdesa agar berjalan lancar dan cepat tanpa harus repot.


5. Digitalisasi Koperasi

Dengan dukungan platform Kopdesa, koperasi dilengkapi dengan sistem manajemen digital berbasis aplikasi yang memudahkan pencatatan keuangan, pengelolaan anggota, transaksi unit usaha, serta pembuatan laporan keuangan secara otomatis. Hal ini menjadikan koperasi lebih transparan, efisien, dan siap bersaing di era modern.


6. Pelatihan dan Pendampingan Berkelanjutan

Kopdesa tidak hanya berhenti di pendirian, tetapi juga memberikan pelatihan dan pendampingan berkelanjutan, mulai dari manajemen koperasi, strategi pengembangan usaha, penggunaan aplikasi digital, hingga edukasi tentang regulasi dan pelaporan. Setiap koperasi yang tergabung dalam Kopdesa mendapatkan akses ke komunitas, modul pelatihan, dan dukungan langsung dari tim ahli.


Dengan dukungan penuh dari platform Kopdesa, pendirian Koperasi Desa Merah Putih kini tidak lagi rumit. Seluruh proses, mulai dari musyawarah, legalisasi, hingga digitalisasi, dapat dilakukan secara terstruktur dan efisien. Kopdesa hadir untuk mendampingi setiap langkah koperasi desa menuju kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.


Referensi:

Kopdes Merah Putih - Strategi Pemerataan Ekonomi dari Desa untuk Wujudkan Kemerdekaan Sejati

Ketahui, Tahapan Pendirian Koperasi Merah Putih - RRI

Simak! Tahapan Pendirian Kopdes Merah Putih - Metro TV

ilustrasi Stop Jadi Kutu Buku! Begini Trik Jago Matematika & Fisika Tanpa Stres pic EduWithSTEAM.com

Matematika dan Fisika sering dianggap seperti "monster" menakutkan di sekolah. Banyak siswa kabur dari jurusan sains, bahkan rela memilih bidang lain hanya untuk menghindari hitung-hitungan. Tapi, tahukah kamu? Masalahnya bukan pada pelajarannya, tapi cara kita belajar yang salah!

82% Siswa Indonesia "Gagal" Matematika – Ini Penyebabnya

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengungkap fakta mengejutkan: 82% siswa usia 15 tahun kemampuan matematikanya di bawah standar PISA (2022). Artinya, mayoritas siswa Indonesia kesulitan menerapkan matematika dalam kehidupan nyata.

Lho, kok bisa?

Menurut Alif Hijriah (29), pendiri platform belajar Cerebrum dan lulusan S1-S2 Matematika ITB, kesalahan terbesar siswa adalah terlalu fokus menghafal rumus, bukan memahami konsep.

"Banyak murid menghafal satu rumus untuk satu soal. Padahal, kalau paham konsepnya, semua rumus bisa diturunkan dari dasar," tegas Alif.

Contoh Nyata: Gerak Parabola Bisa Jadi Simpel!

Bayangkan kamu melempar bola. Itu adalah Gerak Parabola, tapi banyak siswa malah pusing menghafal 5 rumus berbeda. Padahal, semua bisa dipahami hanya dengan 2 konsep dasar:

  1. Gerak Lurus Beraturan (GLB) – Kecepatan konstan.

  2. Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB) – Ada percepatan (gravitasi).

"Saya masih ingat materi ini setelah 13 tahun karena paham konsepnya, bukan hafalan," ujar Alif.

Solusinya? Belajar dengan Cara Keren!

Alif menekankan:
✔ Stop hafalan! Pahami logika di balik rumus.
✔ Kaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Misal, fisika bisa menjelaskan cara kerja HP atau mobil listrik.
✔ Latihan variasi soal. Jangan cuma ngandalkan contoh guru.

"Kalau siswa sadar fisika dan matematika itu keren, mereka akan semangat belajar," tambahnya.

Kesimpulan: Ubah Mindset, Jago Itu Bisa!

Masalahnya bukan pada pelajarannya, tapi cara belajarnya. Jika guru dan siswa berhenti mengandalkan hafalan, matematika dan fisika bisa jadi seru dan mudah.

Siap jadi generasi yang logic-driven bukan rote-learning? ðŸ’¡ðŸš€


Catatan Editor:
Artikel ini bukan untuk menyalahkan guru, tapi membuka diskusi tentang metode belajar sains yang lebih efektif. Bagaimana pengalamanmu belajar matematika/fisika? Ceritakan di kolom komentar!


EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget