ilustrasi Generasi Instan vs. Sastra: Perlawanan Sunyi Seorang Guru pic EduWithSTEAM.com
Di sebuah ruang kelas, seorang guru berdiri dengan buku The Necklace karya Guy de Maupassant di tangannya. Ia berharap melihat mata siswa-siswanya berbinar saat menyelami ironi hidup Mathilde, atau setidaknya tersentuh oleh pengorbanan dalam The Last Leaf. Tapi yang ia dapatkan?
"Sir, too many words."
"Artinya apa sih? Malas buka kamus."
Suara-suara itu seperti tamparan. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena dunia telah mengajari mereka untuk terburu-buru. Kosakata seperti sacrifice, illusion, atau hopelessness bukan sekadar asing di telinga—tapi juga tak menyentuh hati.
"Mereka Bisa, Tapi Tak Mau"
Masalahnya bukan teknologi. Kamus digital ada. Fitur translate instan tersedia. Tapi yang hilang adalah keinginan untuk memahami. Ketika Lencho dalam Letter to God disebut "idiot" alih-alih dimaknai sebagai kritik sosial, atau ketika daun terakhir dianggap sekadar daun—bukan simbol harapan—maka yang terjadi bukan sekadar krisis literasi.
Ini krisis kedalaman jiwa.
Dunia yang Memaksa Mereka Cepat, Bukan Tepat
Guru itu tahu, zaman telah berubah. Bahasa disingkat. Informasi dikemas dalam 15 detik. Membaca satu paragraf pun sudah dianggap beban. Tapi justru di situlah bahayanya: ketika kata-kata hanya jadi alat tukar informasi, bukan jendela makna.
Ia ingat masa ketika kamus tebal adalah sahabat. Sekarang, bahkan Google Translate tak disentuh kecuali terpaksa. Padahal, di balik setiap kata yang dicari, ada dunia baru yang menunggu untuk ditemukan.
"Mengapa Saya Masih Mengajarkan Sastra?"
Kadang ia merasa naif. Di tengah derasnya konten viral, ia masih berharap siswa tersentuh oleh metafora. Di era instant gratification, ia masih meminta mereka membuka kamus. Tapi mungkin, justru di kenaifan itulah letak perlawanannya.
"The Road Not Taken" karya Robert Frost mungkin tak lagi populer di kalangan Gen Z. Tapi guru itu yakin: suatu hari nanti, saat mereka terjebak dalam kehidupan yang datar, mereka akan teringat pada satu kalimat, satu cerita, atau satu daun yang tak pernah gugur—dan tiba-tiba, mereka mengerti.
"Karena membaca bukan sekadar melisankan huruf. Tapi menyelami jiwa yang tersembunyi di baliknya."
Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah refleksi atas krisis literasi yang tak hanya soal kemampuan baca-tulis, tapi juga keterhubungan emosional dengan kata-kata. Bagaimana pendapat Anda? Apakah generasi sekarang benar-benar kehilangan minat pada sastra, ataukah kita yang gagal mengemasnya dengan cara yang relevan?
Post a Comment