Urgensi Filsafat di Tengah Gempuran Artificial Intelligence

 

ilustrasi Urgensi Filsafat di Tengah Gempuran Artificial Intelligence pic EduWithSTEAM.com

Di tengah gempuran teknologi dan dominasi kecerdasan buatan (AI) dalam kehidupan manusia, ada satu pertanyaan besar yang menggelitik benak para cendekiawan: apakah filsafat sudah usang? Atau justru, di era digital ini, kita paling membutuhkannya?

Pertanyaan ini menjadi jantung diskusi mendalam antara Syifa Amin Widigdo (Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dan cendekiawan muslim Syamsuddin Arif dalam podcast kanal Wonderhome Library, Sabtu (26/07). Tema yang diangkat cukup menggugah: relevansi filsafat di era ketika manusia mulai menyerahkan banyak hal kepada algoritma.

"Kalau Tidak Berguna, Kenapa Harus Dipelajari?"

Syamsuddin Arif mengawali dengan menantang pemahaman populer yang hanya menilai ilmu dari manfaat praktisnya. Ia mengingatkan bahwa tidak semua ilmu harus “terpakai” secara langsung. Ada yang memang dipelajari demi pengetahuan itu sendiri — dan filsafat adalah contohnya.

Mengutip ulama klasik Asyahrastani, Arif menjelaskan bahwa ilmu terbagi dua: ilmu praktis (yang bisa langsung diterapkan), dan ilmu teoritis (yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran). “Kalau tujuannya untuk cari manfaat langsung, ya belajar pertukangan. Tapi kalau ingin tahu makna hidup, hakikat kebenaran, maka filsafat jalannya,” tegasnya.

Antara “Know-How” dan “Know-Why”

Filsafat melatih manusia berpikir mendalam, rasional, dan abstrak — kemampuan yang justru tidak bisa ditiru oleh mesin. Di tengah dorongan pendidikan tinggi untuk sekadar “link and match” dengan industri, filsafat datang mengingatkan bahwa manusia tidak hanya butuh keterampilan teknis, tetapi juga kecakapan berpikir, memahami, dan merenungi.

Syifa Amin menambahkan bahwa semua ilmu, termasuk matematika sekalipun, pada akhirnya memiliki dimensi teoritis. “Ngitung harga belanja bisa dengan kalkulator, tapi membangun analytical mind lewat matematika itu level yang berbeda,” ujarnya.

Peringatan dari Dunia Muslim: Pembangunan Tak Cukup Fisik Saja

Dalam konteks umat Islam, Syamsuddin Arif mengkritik kecenderungan pemerintah yang terlalu fokus pada sains dan teknologi, tetapi melupakan pembangunan jiwa dan intelektualitas. Ia mengingatkan: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Pembangunan tak hanya soal infrastruktur, tapi juga membentuk manusia yang berpikir dan punya nilai.

Di negara-negara seperti Jerman, lembaga riset masih mendanai penelitian manuskrip filsafat klasik. Kontras dengan banyak negara Muslim yang justru menyingkirkan humaniora dari prioritas.

Filsafat Islam Masih Dipertanyakan?

Menjelang akhir diskusi, Syifa mengangkat isu pelik: masih ada yang menganggap filsafat Islam bukan “filsafat sejati.” Syamsuddin menanggapi dengan keras: pandangan itu lahir dari eurosentrisme akademik, yang hanya mengakui warisan Plato dan Aristoteles. Ia menyebut pandangan itu sebagai bentuk kejumudan yang menutup pintu bagi khazanah besar peradaban Islam.

Di Mana Peran Filsafat Saat AI Menguasai Dunia?

Syamsuddin menyatakan bahwa filsafat menjadi benteng terakhir agar manusia tak kehilangan orientasi di tengah derasnya arus teknologi. Ia menegaskan: “Filsafat itu upaya untuk memanusiakan manusia.”

Di tengah revolusi AI yang serba efisien dan cepat, justru filsafatlah yang mengajak kita berhenti sejenak, bertanya, dan merenung: Siapa kita? Untuk apa hidup ini? Ke mana kita menuju?

Post a Comment

[blogger]

EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget