"Guru vs Robot: Siapa yang Akan Bertahan di Kelas Masa Depan?"

 

Artificial intelligance and aducation in the future (pic essec.edu)

Bandung – Di tengah ramainya prediksi bahwa Artificial Intelligence (AI) akan menggantikan peran guru, seorang pakar pendidikan dari Binus University justru menantang narasi tersebut. "AI tidak akan pernah bisa menggantikan hati seorang guru," tegas Prof. Dr. Ir. Sasmoko, Guru Besar Binus University, dalam acara Dies Natalis ke-44 Binus.

AI Bisa Mengajar, Tapi Bisakah AI Mengasuh?

Luis von Ahn, CEO Duolingo, pernah menyatakan bahwa hampir "tidak ada yang tidak bisa diajarkan oleh komputer." Bill Gates bahkan meyakini AI bisa menjadi solusi kekurangan guru berkualitas dengan menyediakan pengajaran gratis. Namun, Sasmoko menegaskan: "AI bisa menghitung, tapi tidak bisa merasakan. AI bisa menjelaskan, tapi tidak bisa memahami tangis anak yang frustrasi."

AI memang mampu menyesuaikan materi pelajaran dengan gaya belajar siswa, menganalisis progres belajar, dan memberikan umpan balik instan. "Bayangkan, AI bisa menjadi tutor pribadi bagi anak di pelosok Papua, menyamakan kesempatan belajar dengan anak di Jakarta," ujarnya.

Tapi di balik kehebatannya, AI punya kelemahan fatal: ia tidak punya hati nurani.

Guru di Era AI: Dari "Pengajar" Menjadi "Arsitek Pengalaman"

Sasmoko menggambarkan guru masa depan bukan lagi sebagai "penyampai ilmu", melainkan "arsitek pembelajaran""Guru tidak akan lagi sibuk mengoreksi tugas administratif karena AI yang mengerjakannya. Mereka akan fokus membangun karakter, kreativitas, dan empati siswa," jelasnya.

Contoh konkret? Kelas masa depan mungkin dimulai dengan diskusi ide bersama AI, lalu siswa diajak mengkritisi, bereksperimen, bahkan menciptakan solusi nyata. "Guru akan menjadi sutradara, sementara AI adalah asisten panggungnya," tambah Sasmoko.

Bahaya di Balik Kecerdasan Buatan

Namun, Sasmoko mengingatkan: AI bisa bias. Tanpa pengawasan guru, AI bisa saja mengajarkan perspektif yang tidak adil atau bahkan berbahaya. "Siapa yang akan mengajari AI tentang nilai kemanusiaan jika bukan guru?" tanyanya.

Lima Langkah Menyambut Pendidikan Era AI

Binus University merancang strategi untuk memastikan guru tetap relevan:

  1. Kurikulum Visioner – Literasi AI dan etika digital harus diajarkan sejak dini.

  2. Guru sebagai Arsitek – Pelatihan guru harus fokus pada pengembangan kreativitas, bukan sekadar teknis.

  3. Internet sebagai Hak Dasar – Setiap anak, dari kota hingga pelosok, harus punya akses cloud learning.

  4. Kolaborasi Manusia-AI – Pembelajaran harus memadukan kecerdasan buatan dan sentuhan manusia.

  5. Regulasi yang Melindungi – Kebijakan pendidikan harus adaptif, etis, dan melindungi data siswa.

Kesimpulan: AI Bukan Musuh, Tapi Senjata Baru Guru

Sasmoko menutup dengan pesan kuat: "Guru yang menolak AI akan ketinggalan, tapi AI tanpa guru adalah bom waktu."

Jadi, pertanyaannya bukan "Apakah AI akan menggantikan guru?", melainkan "Bagaimana guru memanfaatkan AI untuk menciptakan generasi yang lebih manusiawi?"

Bagaimana pendapat Anda? Akankah guru tetap bertahan, atau AI akan mendominasi ruang kelas?

Post a Comment

[blogger]

EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget