illustrasi Anak SD Bakal Lebih Jago Coding Daripada Dosen IT pic EduWithSTEAM.com
Revolusi Pendidikan atau Bencana Generasi? Ketika Anak SD di Indonesia Dipaksa Belajar Coding Sejak Kelas 1
Bandung – Bayangkan ini: Seorang bocah kelas 1 SD di Bandung sedang asyik menyusun kode sederhana untuk membuat lampu LED berkedip, sementara teman-temannya berebut mouse untuk memprogram robot kecil bergerak. Bukan di klub teknologi mahal, tapi di ruang kelas sekolah negeri biasa.
Inilah wajah baru pendidikan Indonesia yang akan dimulai tahun ajaran 2025/2026: Coding dan Kecerdasan Buatan (AI) resmi masuk kurikulum sebagai mata pelajaran pilihan untuk SD-SMA. Mendikdasmen Abdul Mu'ti sudah menandatanganinya. Tapi benarkah kita siap?
Dunia Sudah Berlari, Indonesia Baru Merangkak
Fakta global yang bikin panas dingin:
Estonia: Anak usia 7 tahun sudah belajar coding seperti belajar membaca.
Inggris: Sejak 2014, computing wajib untuk anak 5 tahun.
Korea Selatan: 70% lulusan SMA pernah bikin proyek AI.
Sementara di Indonesia?
🔴 Lebih dari 50% sekolah belum punya internet memadai (World Bank 2022).
🔴 Hanya 35% guru yang percaya diri ngajar materi digital (Data Kemendikbud).
"Kita tidak boleh ketinggalan. Tapi jangan sampai jadi kebijakan gagap teknologi," tegas seorang pengamat pendidikan.
Guru-Guru Panik: "Kami Belum Siap!"
Di sebuah pelatihan guru di Jawa Barat, seorang guru SD mengeluh:
"Saya saja masih bingung pakai Zoom, kok sekarang disuruh ngajar AI?"
Ini bukan lelucon. Kemendikbud mengakui 65% guru perlu pelatihan intensif. Solusinya?
✅ Kerjasama dengan kampus IT (UI, ITB, ITS) untuk pelatihan guru.
✅ Modul "Coding Tanpa Komputer" untuk sekolah yang belum punya perangkat.
✅ Guru muda jadi tutor bagi guru senior.
Anak SD Belajar AI? Bukan Tentang Jadi Programmer!
Jeanette Wing dari Carnegie Mellon University bilang:
"Ini soal melatih computational thinking—cara memecahkan masalah seperti komputer."
Contoh konkret di Finlandia:
Anak-anak belajar logika lewat permainan robot mainan.
Tidak ada hafalan kode, tapi memahami "jika-maka" dalam kehidupan sehari-hari.
"Kita tidak butuh jutaan programmer, tapi generasi yang pikirannya terstruktur," jelas seorang praktisi pendidikan.
Tantangan Terbesar: Ketimpangan Digital
Cerita pilu dari NTT:
"Di sini, listrik saja sering mati. Bagaimana mau belajar coding?" protes seorang kepala sekolah.
Solusi darurat Kemendikbud:
Prioritas daerah perkotaan dulu.
Sekolah pedalaman pakai modul offline.
CSR perusahaan tech untuk donasi laptop.
Pro-Kontra Orang Tua: "Anakku Beban Belajar Tambah!"
Di grup WhatsApp orang tua SD viral suara sumbang:
"Anak saya masih belum lancar baca, kok disuruh coding?"
Tapi ada juga yang mendukung:
"Dunia sudah berubah. Dulu kita belajar mengetik 10 jari, sekarang anak harus belajar AI."
Mau Jadi Macan Asia atau Tertinggal?
Pilihan Indonesia sekarang:
Jalan Korea Selatan/Singapura (investasi besar di guru & infrastruktur).
Atau ulangi gagal seperti AS (kurikulum canggih tapi timpang).
"Jika kita setengah hati, hasilnya akan seperti program bilingual dulu—gagal total," kritik seorang dosen ITB.
Post a Comment